Jakarta (Antaranews) - Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahlli Geologi Indonesia (IAGI), Singgih Widagdo mengatakan pentingnya pemerintah membuat langkah strategis untuk menetapkan formulai harga batubara bagi pasar domestik (domestik market obligation/ DMO).
"Harga batubara domestik seharusnya memiliki visi jangka panjang. Dengan demikian pemerintah seharusnya juga menetapkannya jauh sebelum PLTU Batubara mendominasi bauran energi di Indonesia," kata Singgih di Jakarta, Senin.
Kebijakan Harga Batubara Acuan (HBA) memang diakui menjadi salah satu keberhasilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Termasuk pembayaran royalti batubara yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh pengusaha tambang batubara, sebelum menjual ke pihak lain.
Pemerintah, menurut Singgih, seharusnya memisahkan antara harga batubara di dalam negeri dengan harga batubara untuk kepentingan ekspor.
"Memisahkan harga jual batubara untuk pasar domestik dan ekspor, bukan saja mempertimbangkan nilai ekonomi semata, namun juga menjadi rasional bagi masyarakat dalam menilai pemerintah, mengelola sumberdaya alam untuk kepentingan sebesar-besar rakyat," ujar dia.
Menurut Singgih, sebagai eksportir batubara terbesar di dunia, Indonesia semestinya dapat memainkan perannya dalam mempengaruhi harga batubara di pasar internasional.
Mengenai perbedaan harga antara pasar domestik dan ekspor, idealnya menjadi pemikiran kepentingan oleh berbagai pihak, seperti Kementeriaan ESDM, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, dan juga investor pertambangan.
Dengan memisahkan harga domestik dan ekspor, maka perdebatan di saat indeks harga batubara menyentuh diatas 100 dolar AS dapat diantisipasi sebelumnya dengan menggunakan satu formulasi.
Kementerian ESDM diminta untuk tidak perlu terburu-buru atas dorongan naiknya belanja energi primer. Lebih baik hal ini diarahkan bagaimana batubara dapat dikelola sebagai energi untuk kepentingan ekonomi nasional jangka panjang.
DMO Batubara
Awal 2018, Kementerian ESDM telah menetapkan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25 persen dari rencana produksi tahun 2018 yang disetujui.
Dengan penetapan tersebut maka kewajiban DMO naik menjadi 121 juta ton, sekaligus mempertegas batas atas produksi tahun ini sebesar 485 juta ton.
Jumlah tersebut dihitung atas realisasi produksi sepanjang 2017 sebanyak 461 juta ton ditambah 5 persen toleransi ekspansi produksi yang bisa diberikan.
Namun selama 2017, penyerapan DMO batubara tercatat baru sebanyak 97 juta ton. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan target yang diwajibkan sebesar 121 juta ton.
Kemudian muncul usulan agar DMO diletakkan atas dasar "national coal logistic chain" secara menyeluruh atas industri pertambangan batubara yang telah terbangun, serta tidak menempatkannya sebagai ruang yang terbuka, di mana semua perusahaan dapat memasok batubaranya ke setiap pengguna.
Perlu juga dibuat parameter sebagai bahan pertimbangan seperti kapasitas produksi, volume DMO, loading capacity, discharging facilities di pihak pemakai dan kualitas batubara, termasuk jika sudah terjadi kontrak jangka panjang dengan PLN dan Independent Power Producer (IPP).