Serang (Antara News) - Pemerintah Provinsi Banten mendorong pemerintah kabupaten/kota yang rawan bencana untuk membentuk kelompok perempuan tangguh bencana.
"Pembentukan perempuan tangguh bencana bertujuan agar tidak ada diskriminasi terhadap perempuan-perempuan yang menjadi korban bencana, terutama di daerah-daerah yang rawan bencana di Banten," Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Siti Ma'ani Nina di Serang, Senin.
Sehingga dengan pemahaman yang baik terhadap hak-hak perempuan dalam menghadapi resiko bencana, akan mengurangi potensi adanya diskriminasi dan berbagai tindakan kereasan baik fisik maupun psikis terhadap perempuan korban bencana.
"Dalam upaya perlindungan perempuan dalam pengurangan resiko bencana di Provinsi Banten diperlukan kajian-kajian yang terus-menerus dalam berbagai forum yang melibatkan berbagai kalangan dan komunitas," katanya.
Peran perempuan cukup signifikan dalam pencegahan dan kontribusinya kesiapsiagaan dan pengurangan resiko bencana, karena perempuan memainkan peran penting dalam manajemen resiko dan membangun ketangguhan, ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, Pemprov Banten melalui DP2AKKB mendorong kabupaten/kota melalui organiasi perempuan untuk membentuk kelompok-kelompok perempuan yang tangguh bencana, terutama di daerah-daerah rawan bencana. Apalagi hampir semua daerah di Banten rawan terjadinya bencana, baik bencana alam maupun bencana industri.
"Kelompok perempuan tangguh bencana ini semacam relawan, untuk membantu perempuan lainnya dan juga anak-anak korban bencana dalam pemenuhan hak-haknya sebagai perempuan dan juga anak. Selama ini kan kita melihat seolah-olah kurang ada perhatian terhadap persoalan itu," kata Nina didampingi Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP2AKKB Provinsi Banten Erminiwati.
Nina mengatakan, mandat untuk melaksanakan perlindungan hak perempuan dalam situasi bencana merupakan tanggungjawab dari semua kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Hal ini sudah diatur sejak dikeluarkannya instruksi presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional.
Sebelumnya, kata dia, telah ada ratifikasi atau pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui UU Nomor 12 Tahun 1987, yang pada Pasal 11 yang mengamanatkan agar dilakukan tindak afirmatif untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan.
Selanjutnya Pasal 48 dari BAB 5 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, mengamanatkan adanya perlindungan terhadap kelompok rentan melalui pemberian prioritas dalam penanggulangan bencana, baik pada sebelum tanggap darurat dan sesudah bencana.
"Dalam UU ini yang dimaksud kelompok rentan adalah ibu hamil, ibu menyusui, bayi anak-anak penyandang disabilitas dan lansia," kata Nina.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan pada Situasi Darurat dan Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) Anak Nyimas Aliah mengatakan, akhir-akhir ini kejadian bencana terus meningkat meningkat. Pada situasi bencana tersebut paling tinggi yang kena dampaknya adalah perempuan dan anak.
"Dampak dari bencana itu perempuan rentan mengalami kekerasan bebrbasis gender, karena perempuan sebagai kelompok rentan mengalami kekerasan fisik dan psikis dan seksual. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan, kami dari Kemterian Perlindungan Perempuan dan Anak itu ada Deputi Perlindungan Hak Perempuan dan Anak untuk melindungi perempuan dan anak pada situasi darurat dan kondisi khusus seperti bencana," kata Aliah usai menjadi pembicara dalam 'workshop' tersebut.
Menurutnya, dalam kondisi bencana biasanya keluarga terpisah, kemudian harus tinggal dalam satu penampungan yang tadinya tidak saling mengenal, harus mengantre untuk fasilitas-fasilitas umum. Belum lagi perlunya perlindungan bagi anak-anak karena pada situasi bencana anak-anak tanpa ada yang mengawasi apalagi jika kehilangan orang tuanya, sehingga rawan mengalai eksploitasi.