Jakarta (Antara News) - Petani di Soe Nusa Tenggara Timur (NTT) terselamatkan dari bencana kekeringan yang terjadi pada Agustus sampai Desember 2015 setelah menekuni budidaya sayuran dan penerapan teknologi budidaya tanaman.
"Kami telah mengenal sekitar 20 jenis sayuran hibrida yang cocok ditanam di Soe NTT sekaligus mendapat pendampingan pada saat budidaya. Hasilnya, kami telah melakukan panen raya meskipun kemarau panjang melanda daerah kami," kata Ketua Kelompok Tani Tunas Muda Desa Tubuhue Soe NTT, Lasarus Foat saat dihubungi melalui telepon, Selasa.
Lasarus mengatakan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Muda dapat memanfaatkan waktu selama delapan bulan mulai awal 2015 hingga datangnya puncak musim kemarau dengan menanam sayuran-sayuran yang mampu panen cepat dan tahan ditanam di lahan dengan kondisi air terbatas seperti di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah salah satu dari 20 kabupaten di NTT yang mengalami kekeringan parah. Sebagian besar sawah yang digunakan untuk menanam padi kering dan gagal panen. Penyebab kekeringan ini antara lain adalah akibat anomali iklim yang berdampak pada berkurangnya curah hujan sepanjang tahun 2015.
"Kami beruntung, kami sempat beberapa kali panen raya selama Januari - Agustus 2015 untuk tanaman seperti tomat, sawi putih, kol, brokoli, labu, paria, kangkung, sayur putih, selada, melon, semangka, bawang, dan oyong. Dengan hasil panen itu kami memiliki tabungan sambil menunggu datangnya musim hujan pada akhir Desember 2015," ujar dia.
Lasarus mengatakan kelompok tani yang beranggotakan 11 kepala keluarga tersebut berencana untuk mengembangkan zona pertaniannya, kalau sebelumnya baru di zona 1, akan dikembangkan di zona 2, 3, dan 4 untuk budidaya sayuran.
"Saat ini anggota kelompok taninya sudah menyiapkan 50 bedeng bibit sawi. Tetapi kami belum berani pindahkan ke lahan karena menunggu kondisi air benar-benar cukup," kata Lasarus.
Menurut dia untuk mendatangkan air ke depannya dibutuhkan pipa sepanjang satu kilometer agar sampai ke sumber air, namun dia optimistis hal tersebut akan diselesaikan tahun 2016 mengingat Pemda setempat mulai ikut berkontribusi.
"Hal ini mungkin setelah kami berhasil membawa nama NTT dalam lomba tani di Wisma Hijau Kementerian Pertanian," kata Lasarus.
Keberhasilan petani dari Kelompok Tani Tunas Muda bermula dari perkenalan Lasarus dengan Yayasan Bina Tani Sejahtera (YBTS) pada awal 2015. YBTS kemudian menggandeng perusahaan benih sayuran hibrida, PT East West Seeds Indonesia (Ewindo) untuk menyediakan benih beragam sayuran unggul yang adaptif terhadap kekeringan dan mampu berproduksi tinggi meski ketersediaan air terbatas.
"Selain benih sayuran unggul dan pendampingan, bantuan yang kami berikan dalam bentuk pengadaan air irigasi sehingga petani yang semula bercocok tanam hanya empat bulan kini dapat meningkatkan waktu tanamnya," kata Ketua YBTS, Edwin Saragih
Edwin menjelaskan kalau sebelumnya mereka hanya mengandalkan musim hujan yang datangnya selama empat bulan, maka dengan irigasi mereka setidaknya memiliki waktu sekitar tujuh sampai sepuluh bulan atau rata-rata indeks masa tanam meningkat 2,5 sampai 3 kali.
Mengoptimalkan Teknologi
Edwin menerangkan, untuk membantu ketersediaan air pihaknya memanfaatkan teknologi GPS untuk mencari sumber mata ai. Dengan teknologi itu, sumber air yang cukup dapat ditemukan dengan jarak sekitar 1,5 kilometer dari lahan pertanian. Pihak yayasan kemudian berkerja sama dengan masyarakat setempat membangun pipa dengan sistem gravitasi sepanjang 1,5 kilometer dari sumber mata air.
Edwin mengatakan mulai dari pencarian sumber mata air pada awal Juni 2014, rapat koordinasi, pengadaan bahan pipa air, batu, semen, pasir, kayu, seluruhnya melibatkan petani setempat. Termasuk dalam hal jadwal mengairi lahan juga dikoordinasikan petani yang tergabung dalam kelompok tani mengingat sumber air yang terbatas sehingga memang harus bergiliran.
Hingga saat ini pihak yayasan telah membantu tiga desa dan 15 kelompok tani dengan total lahan sayuran yang digarap mencapai 150 hektare atau rata-rata setiap kelompok memiliki lahan seluas 10 hektare.
Edwin mengatakan YBTS akan memfokuskan pengembangan lahan pertanian sayuran di wilayah Timur Indonesia. Salah satu yang kini tengah berjalan yakni di Halmahera dan Papua Barat.
"Kami ingin mengembangkan budidaya sayuran yang berkualitas serta mendorong masyarakat lebih banyak mengkonsumsi sayuran,¿ ujar dia