Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengajak para guru secara proaktif menghadirkan pembelajaran dari rumah secara menyenangkan kepada para muridnya.
"Melihat berbagai tantangan dalam melaksanakan kebijakan ini, maka harus dihadapi dengan cara fleksibel dan menyesuaikan kemampuan di daerah masing-masing. Marilah kita bersama-sama berinovasi dan berkreasi dalam pelaksanaan belajar dari rumah, misalnya dengan memasukkan permainan sederhana bagi anak dalam materi pembelajaran agar anak tidak merasa jenuh," ujar dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Hal itu diungkapkan Menteri Bintang dalam seminar daring memperingati Hari Pendidikan Nasional 2020 dengan tema "Penguatan Kurikulum dan Perlindungan Anak bersama PGRI Provinsi Bali".
Ia menyoroti pentingnya perlindungan anak saat mengakses internet pada era digital saat ini, mengingat banyaknya bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi dan berkembang ke arah kejahaan siber.
"Menurut data KPAI pada 2017 hingga 2019, jumlah kasus pornografi dan kejahatan 'online' terhadap anak baik yang menjadi korban ataupun pelaku mencapai 1.940 anak. Hal ini perlu menjadi perhatian kita semua, kuncinya adalah pendampingan dari guru dan orang tua saat anak mengakses internet," katanya.
Menteri Bintang menekankan kepada orang tua dan guru tentang keharusan memiliki literasi digital yang baik.
Misalnya, katanya, mengetahui fitur dan aturan terkait dengan perlindungan anak dalam internet, seperti kontrol orang tua, situs khusus anak, waktu maksimal bergawai, batasan usia dalam penggunaan aplikasi dan media sosial.
"Anak juga harus dibekali dengan literasi digital sejak dini, sehingga tahu apa saja hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet. Hal ini penting karena tugas yang diberikan banyak berkaitan dengan penggunaan internet," katanya.
Saat ini, Kementerian PPPA telah membuat berbagai materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang ditujukan pada anak serta "tool tips" agar anak mempunyai aktivitas di rumah yang dapat diakses melalui website resmi Kementerian PPPA, media sosial Kementerian PPPA, serta portal Gerakan Berjarak, yaitu gerakan yang diinisiasi oleh Kementerian PPPA untuk penyebaran informasi pada masa pandemi COVID-19.
“Namun di sisi lain, sejak dulu masalah kekerasan pada anak di lingkungan sekolah masih sering terjadi," katanya.
KPAI pada 2011-2019 melaporkan terdapat 3.821 anak menjadi korban dan pelaku kekerasan di bidang pendidikan, yaitu 574 laki-laki dan 425 perempuan menjadi korban perundungan di sekolah serta 440 laki-laki dan 326 perempuan menjadi pelaku perundungan di sekolah.
Ia menambahkan tindak kekerasan juga banyak dilakukan berbagai pihak di sekolah. Sebanyak 44 persen kekerasan terhadap anak di sekolah dilakukan oknum guru atau kepala sekolah, 30 persen kekerasan terjadi antarsiswa, 13 persen dilakukan siswa kepada guru, dan 13 persen dilakukan orang tua siswa kepada guru.
"Hal ini menunjukkan, evaluasi sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah masih dibutuhkan. Sekolah yang kita anggap sebagai tempat aman, ternyata berpotensi menempatkan anak pada situasi salah. Tugas besar kita bukanlah saling menyalahkan dan menghukum pihak yang melakukan kekerasan, melainkan menciptakan sistem pendidikan yang aman, nyaman, dan harmonis bagi guru, orang tua, dan siswa,” tegas Menteri Bintang.
Dalam upaya mewujudkan sistem yang harmonis pada satuan pendidikan, Kemen PPPA telah membentuk dan mengembangkan program Sekolah Ramah Anak (SRA) dengan prinsip pencegahan dan melakukan penanganan kekerasan terhadap anak, serta penerapan program sekolah aman dari kekerasan dan penerapan disiplin positif.
Hingga Januari 2019, tercatat 42.013 SRA tersebar di 301 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Selain SRA, Kementerian PPPA telah menggagas Pusat Kreativitas Anak (PKA) untuk memastikan anak mendapatkan tempat yang terlindungi pada waktu mereka bermain dan melakukan berbagai aktifitas yang positif, inovatif, serta kreatif, termasuk turut melestarikan budaya lokal.
Menteri Bintang berharap, PGRI sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia dapat mendorong seluruh pengurus dan anggotanya berkomitmen hijrah hati menuju sekolah ramah anak.
Hal tersebut, katanya, dimulai dengan proses pendisiplinan di sekolah tanpa hukuman/kekerasan, diganti dengan pendisiplinan melalui pembinaan dan pendampingan serta pertolongan kepada anak.
"Selamat Hari Pendidikan untuk para anggota PGRI di seluruh Indonesia. Terima kasih atas pengabdiannya untuk mendidik anak-anak Indonesia selama ini. Mari bersama-sama kita bersinergi agar seluruh anak Indonesia menjadi anak yang berkualitas menuju cita-cita Indonesia Layak Anak (Idola) 2030 dan Indonesia Emas 2045, yaitu menjadi anak cerdas, kreatif, peduli, dan memiliki sikap kepemimpinan,” tutup Menteri Bintang.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Melihat berbagai tantangan dalam melaksanakan kebijakan ini, maka harus dihadapi dengan cara fleksibel dan menyesuaikan kemampuan di daerah masing-masing. Marilah kita bersama-sama berinovasi dan berkreasi dalam pelaksanaan belajar dari rumah, misalnya dengan memasukkan permainan sederhana bagi anak dalam materi pembelajaran agar anak tidak merasa jenuh," ujar dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Hal itu diungkapkan Menteri Bintang dalam seminar daring memperingati Hari Pendidikan Nasional 2020 dengan tema "Penguatan Kurikulum dan Perlindungan Anak bersama PGRI Provinsi Bali".
Ia menyoroti pentingnya perlindungan anak saat mengakses internet pada era digital saat ini, mengingat banyaknya bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi dan berkembang ke arah kejahaan siber.
"Menurut data KPAI pada 2017 hingga 2019, jumlah kasus pornografi dan kejahatan 'online' terhadap anak baik yang menjadi korban ataupun pelaku mencapai 1.940 anak. Hal ini perlu menjadi perhatian kita semua, kuncinya adalah pendampingan dari guru dan orang tua saat anak mengakses internet," katanya.
Menteri Bintang menekankan kepada orang tua dan guru tentang keharusan memiliki literasi digital yang baik.
Misalnya, katanya, mengetahui fitur dan aturan terkait dengan perlindungan anak dalam internet, seperti kontrol orang tua, situs khusus anak, waktu maksimal bergawai, batasan usia dalam penggunaan aplikasi dan media sosial.
"Anak juga harus dibekali dengan literasi digital sejak dini, sehingga tahu apa saja hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet. Hal ini penting karena tugas yang diberikan banyak berkaitan dengan penggunaan internet," katanya.
Saat ini, Kementerian PPPA telah membuat berbagai materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang ditujukan pada anak serta "tool tips" agar anak mempunyai aktivitas di rumah yang dapat diakses melalui website resmi Kementerian PPPA, media sosial Kementerian PPPA, serta portal Gerakan Berjarak, yaitu gerakan yang diinisiasi oleh Kementerian PPPA untuk penyebaran informasi pada masa pandemi COVID-19.
“Namun di sisi lain, sejak dulu masalah kekerasan pada anak di lingkungan sekolah masih sering terjadi," katanya.
KPAI pada 2011-2019 melaporkan terdapat 3.821 anak menjadi korban dan pelaku kekerasan di bidang pendidikan, yaitu 574 laki-laki dan 425 perempuan menjadi korban perundungan di sekolah serta 440 laki-laki dan 326 perempuan menjadi pelaku perundungan di sekolah.
Ia menambahkan tindak kekerasan juga banyak dilakukan berbagai pihak di sekolah. Sebanyak 44 persen kekerasan terhadap anak di sekolah dilakukan oknum guru atau kepala sekolah, 30 persen kekerasan terjadi antarsiswa, 13 persen dilakukan siswa kepada guru, dan 13 persen dilakukan orang tua siswa kepada guru.
"Hal ini menunjukkan, evaluasi sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah masih dibutuhkan. Sekolah yang kita anggap sebagai tempat aman, ternyata berpotensi menempatkan anak pada situasi salah. Tugas besar kita bukanlah saling menyalahkan dan menghukum pihak yang melakukan kekerasan, melainkan menciptakan sistem pendidikan yang aman, nyaman, dan harmonis bagi guru, orang tua, dan siswa,” tegas Menteri Bintang.
Dalam upaya mewujudkan sistem yang harmonis pada satuan pendidikan, Kemen PPPA telah membentuk dan mengembangkan program Sekolah Ramah Anak (SRA) dengan prinsip pencegahan dan melakukan penanganan kekerasan terhadap anak, serta penerapan program sekolah aman dari kekerasan dan penerapan disiplin positif.
Hingga Januari 2019, tercatat 42.013 SRA tersebar di 301 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Selain SRA, Kementerian PPPA telah menggagas Pusat Kreativitas Anak (PKA) untuk memastikan anak mendapatkan tempat yang terlindungi pada waktu mereka bermain dan melakukan berbagai aktifitas yang positif, inovatif, serta kreatif, termasuk turut melestarikan budaya lokal.
Menteri Bintang berharap, PGRI sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia dapat mendorong seluruh pengurus dan anggotanya berkomitmen hijrah hati menuju sekolah ramah anak.
Hal tersebut, katanya, dimulai dengan proses pendisiplinan di sekolah tanpa hukuman/kekerasan, diganti dengan pendisiplinan melalui pembinaan dan pendampingan serta pertolongan kepada anak.
"Selamat Hari Pendidikan untuk para anggota PGRI di seluruh Indonesia. Terima kasih atas pengabdiannya untuk mendidik anak-anak Indonesia selama ini. Mari bersama-sama kita bersinergi agar seluruh anak Indonesia menjadi anak yang berkualitas menuju cita-cita Indonesia Layak Anak (Idola) 2030 dan Indonesia Emas 2045, yaitu menjadi anak cerdas, kreatif, peduli, dan memiliki sikap kepemimpinan,” tutup Menteri Bintang.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020