Polemik soal "Indonesian Coast Guard" yang terus bergulir menjadi diskursus menarik dalam dunia kemaritiman Indonesia karena menyangkut tata kelola keamanan maritim yang eskalasi ancamannya terus meningkat.
Guna mengakhiri kisruh tersebut, pengamat maritim Siswanto Rusdi, Rabu di Jakarta mengemukakan bahwa sebaiknya Bakamla menjadi koordinator di dalam keamanan maritim di Indonesia.
“Jadi Bakamla atau Coast Guard itu hanya sebagai koordinator dari institusi-institusi lain yang berwenang di laut,” kata Siswanto.
Direktur National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian ini menyatakan, hal itu lebih elegan untuk mengakhiri ego sektoral yang dirasa tak pernah ada ujungnya.
Menurut dia, institusi-intitusi lainnya seperti Polair, KPLP, PSDKP dan lainnya juga tidak bisa dilebur ke dalam Bakamla.
“Institusi-institusi itu sudah lama dan ada hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut saya itu susah dilebur. Tidak mungkin itu. Jadi biarkan masalah teknis itu ada di institusi-institusi lain,” ungkapnya
Dengan adanya pengakuan dari Coast Guard negara-negara lain, sambung Siswanto, lebih tepat ketika Bakamla berperan sebagai "trainer" dari institusi-institusi yang berada di bawah koordinasinya.
Dengan demikian penegakan hukum di laut itu lebih beradab, dan Bakamla posisinya lebih banyak berhubungan di luar negeri.
Apa yang disampaikan Siswanto mengingatkan pada pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) tahun 1972 melalui Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung dengan Nomor: KEP/B/45/XII/1972; SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1;KEP-085/J.A/12/1972.
Siswanto berpandangan, selama masih ada ego sektoral sangat sulit menjadikan Bakamla sebagai "single agency" yang multitask sebagaimana menjadi prinsip yang melandasi beridirinya Bakamla lewat UU No.32/2014 tentang Kelautan.
“Sekarang kita sudah jarang mendengar ada operasi laut bersama terintegrasi lagi. Seharusnya Bakamla menghadirkan adanya operasi laut bersama itu,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
Guna mengakhiri kisruh tersebut, pengamat maritim Siswanto Rusdi, Rabu di Jakarta mengemukakan bahwa sebaiknya Bakamla menjadi koordinator di dalam keamanan maritim di Indonesia.
“Jadi Bakamla atau Coast Guard itu hanya sebagai koordinator dari institusi-institusi lain yang berwenang di laut,” kata Siswanto.
Direktur National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian ini menyatakan, hal itu lebih elegan untuk mengakhiri ego sektoral yang dirasa tak pernah ada ujungnya.
Menurut dia, institusi-intitusi lainnya seperti Polair, KPLP, PSDKP dan lainnya juga tidak bisa dilebur ke dalam Bakamla.
“Institusi-institusi itu sudah lama dan ada hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut saya itu susah dilebur. Tidak mungkin itu. Jadi biarkan masalah teknis itu ada di institusi-institusi lain,” ungkapnya
Dengan adanya pengakuan dari Coast Guard negara-negara lain, sambung Siswanto, lebih tepat ketika Bakamla berperan sebagai "trainer" dari institusi-institusi yang berada di bawah koordinasinya.
Dengan demikian penegakan hukum di laut itu lebih beradab, dan Bakamla posisinya lebih banyak berhubungan di luar negeri.
Apa yang disampaikan Siswanto mengingatkan pada pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) tahun 1972 melalui Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung dengan Nomor: KEP/B/45/XII/1972; SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1;KEP-085/J.A/12/1972.
Siswanto berpandangan, selama masih ada ego sektoral sangat sulit menjadikan Bakamla sebagai "single agency" yang multitask sebagaimana menjadi prinsip yang melandasi beridirinya Bakamla lewat UU No.32/2014 tentang Kelautan.
“Sekarang kita sudah jarang mendengar ada operasi laut bersama terintegrasi lagi. Seharusnya Bakamla menghadirkan adanya operasi laut bersama itu,” katanya.
Editor :
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019