Kepala Kompartemen Riset Lingkungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Dr Bandung Sahari menyatakan perkebunan kelapa sawit selama ini telah mendukung optimalisasi lahan tidur di Indonesia.

"Dari awal, tanaman sawit memang diperkenalkan sebagai upaya restorasi lahan kritis. Jadi, keberadaan sawit jelas memperbaiki begitu banyak lahan tidur yang kritis akibat praktik peladangan berpindah," katanya di Banjarmasin, Jumat.

Untuk itulah, kata dia, pendapat keliru jika menyatakan sawit menciptakan deforestasi dan pada akhirnya meningkatkan emisi karbon, karena sawit tidak ditanam di hutan primer.

"Itu hanya kampanye hitam Uni Eropa melakukan diskriminasi sawit Indonesia. Faktanya, sawit bisa ditanam di lahan apa saja. Termasuk lahan basah yang cakupannya area rawa dan gambut," katanya.

Bahkan, kata Bandung, memanfaatkan potensi unggulan lahan basah yang luas di Indonesia, perkebunan kelapa sawit sangat ramah lingkungan dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada.

"Pengelolaan gambut bertanggung jawab untuk sawit berkelanjutan menjadi semangat kita bersama-sama menjaga lingkungan tetap lestari," katanya.

Menurut dia, untuk menjamin perkebunan kelapa sawit Indonesia berkelanjutan, salah satunya melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) yang digelorakan GAPKI. Sertifikasi ISPO sekaligus diharapkan mengurangi kesan negatif kelapa sawit yang terus dihembuskan pihak luar pesaing bisnis minyak sawit.

Ia mengemukakan, sekitar 42 persen industri sawit merupakan perkebunan rakyat dari total luas lahan sawit 14 juta hektare di Indonesia. Hal itu juga membuktikan jika sawit jadi andalan masyarakat Nusantara yang hidupnya bergantung dari industri minyak sawit.

Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, pada tahun 2019 produksi minyak sawit Indonesia mencapai 42.869.429 ton yang bersumber dari 25 provinsi. Hasil tahun ini naik jika dibanding 2018 yang hanya 40.567.230 ton.

Pewarta: Firman

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019