Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Tengah memastikan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal oleh salah satu pabrik tekstil terbesar di Soloraya, PT Tyfountex Sukoharjo beberapa waktu lalu bukan karena sektor tekstil yang sedang lesu.

"Itu lebih ke permasalahan internal, masalah perbedaan ekspektasi dalam mengembangkan investasinya," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah Muhammad Arif Sambodo di Solo, Jateng, Kamis.

Ia mengatakan saat ini pertumbuhan sektor tekstil masih relatif stabil.

"Secara nasional saat ini eksportir terbesar tekstil masih dipegang Jawa Tengah, namun memang di sisi lain Jawa Tengah juga menjadi importir terbesar untuk bahan baku. Apalagi untuk kebutuhan kapas kan belum bisa dipenuhi dari dalam negeri," katanya.

Meski demikian, dikatakannya, saat ini sejumlah perusahaan tekstil mulai mengembangkan industri tekstil yang terintegrasi dengan harapan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor.

"Khususnya untuk benang serat buatan, volume impornya mulai turun," katanya.

Ke depan, pihaknya juga akan mendorong industri yang ada di Kawasan Industri Kendal (KIK) agar berorientasi substitusi impor.

"Harapannya ini nanti bahan baku maupun bahan penolong bisa dicukupi mereka sendiri, paling tidak bisa mengurangi ketergantungan impor," katanya.

Sebelumnya, pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah Lilik Setiawan mengatakan sektor tekstil di Indonesia masih tumbuh positif.

"Untuk pertumbuhan tekstil pada kuartal pertama 2019 masih surplus satu miliar dolar AS, artinya ada pertumbuhan 1,87 persen secara yoy (tahunan)," katanya.

Bahkan, API mencatat pada penutupan tahun 2018, pendapatan dari ekspor tekstil sebesar 13 miliar dolar AS atau tumbuh dari 12,58 miliar dolar AS pada 2017.

"Pertumbuhan pasar domestik juga menggembirakan, 13 miliar dolar AS juga," katanya.
 

Pewarta: Aris Wasita

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019