Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Surabaya 2020 yang disahkan DPRD pada Minggu (10/11) menganggarkan kenaikan honor penyelenggara pilkada ad hoc seperti panitia pemilihan kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS), dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) sebesar Rp16 miliar.
"Itu tidak terlepas sikap akomodatif sikap bu wali kota yang memandangnya pentingnya penambahan anggaran demi kelancaran dan kesuksesan Pilkada Surabaya 2020," kata anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya Anas Karno di Surabaya, Senin.
Diketahui honor penyelenggara pilkada ad hoc sebelumnya tidak masuk dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Pilkada Surabaya 2020 yang diteken Wali Kota Surabaya dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya pada 7 Oktober 2019.
Pada NPHD yang sudah diteken tersebut disebutkan bahwa tidak ada kenaikan honor ad hoc untuk pilkada serentak 2020, melainkan sama dengan pelaksanaan Pilkada Jatim 2018 dan Pemilu legislatif 2019, seperti halnya untuk honor PPK sebesar Rp1.850.000.
Padahal sesuai Surat Edaran Kementerian Keuangan RI Nomor S-735/MK.02/2018 tanggal 7 Oktober 2019 tentang usulan standar biaya honorarium badan Ad Hoc Pemilihan 2020, untuk honor PPK naik menjadi Rp 2.200.000.
Hal itu dikarenakan pihak KPU saat itu belum mengetahui Surat Edaran Kementerian Keuangan yang keluarnya bersamaan dengan ditandatanganinya NPHD pada 7 Oktober 2019.
Menurut Anas, DPRD dan Pemkot Surabaya akan mengawal pelaksanaan Pilkada Surabaya 2020 mulai awal hingga akhir. Tentunya, KPU Surabaya sebagai penyelenggara pilkada diharapkan bisa bersikap netral dan berintergritas.
"Aspek pemenuhan anggaran itu merupakan syarat mutlak terlaksananya pilkada yang berkualitas," kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya dari PDI Perjuangan ini.
Anggota Komisi A Bidang Hukum dan pemerintahan DPRD Surabaya M. Machmud sebelumnya menyesalkan honor ad hoc rendah dibanding PPK di Kabupaten Gresik. "Ini ironis kekuatan APBD Surabaya lebih besar dibanding Gresik," katanya.
Saat ditanya apakah NPHD itu bisa diubah, Machmud mengatakan bahwa NPHD yang sudah diteken sudah tidak bisa diubah lagi karena yang bisa diubah jika calon di Pilkada itu melebihi dari lima calon atau ada persoalan krusial lainnya. Saat itu, ia menyarankan agar Pemkot dan KPU Surabaya konsultasi ke Kementerian Keuangan atau Kementerian Dalam Negeri.
Ketua KPU Surabaya Nur Syamsi pada saat penandatanganan NPHD sempat mengatakan pada awalnya pengajuan dari KPU Surabaya sebesar Rp118 miliar dengan pertimbangan adanya pengajuan dengan berpedoman adanya potensi kenaikan honor ad hoc.
Namun, lanjut dia, berdasarkan kajian bersama, potensi tersebut belum bisa dijadikan dasar hukum pengajuan penganggaran sehingga anggaran Pilkada Surabaya yakni sebesar Rp84.637.990.000.
"Jadi honor ad hoc sama dengan pelaksanaan Pilkada Jatim 2018 dan Pileg 2019," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Itu tidak terlepas sikap akomodatif sikap bu wali kota yang memandangnya pentingnya penambahan anggaran demi kelancaran dan kesuksesan Pilkada Surabaya 2020," kata anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Surabaya Anas Karno di Surabaya, Senin.
Diketahui honor penyelenggara pilkada ad hoc sebelumnya tidak masuk dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Pilkada Surabaya 2020 yang diteken Wali Kota Surabaya dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya pada 7 Oktober 2019.
Pada NPHD yang sudah diteken tersebut disebutkan bahwa tidak ada kenaikan honor ad hoc untuk pilkada serentak 2020, melainkan sama dengan pelaksanaan Pilkada Jatim 2018 dan Pemilu legislatif 2019, seperti halnya untuk honor PPK sebesar Rp1.850.000.
Padahal sesuai Surat Edaran Kementerian Keuangan RI Nomor S-735/MK.02/2018 tanggal 7 Oktober 2019 tentang usulan standar biaya honorarium badan Ad Hoc Pemilihan 2020, untuk honor PPK naik menjadi Rp 2.200.000.
Hal itu dikarenakan pihak KPU saat itu belum mengetahui Surat Edaran Kementerian Keuangan yang keluarnya bersamaan dengan ditandatanganinya NPHD pada 7 Oktober 2019.
Menurut Anas, DPRD dan Pemkot Surabaya akan mengawal pelaksanaan Pilkada Surabaya 2020 mulai awal hingga akhir. Tentunya, KPU Surabaya sebagai penyelenggara pilkada diharapkan bisa bersikap netral dan berintergritas.
"Aspek pemenuhan anggaran itu merupakan syarat mutlak terlaksananya pilkada yang berkualitas," kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya dari PDI Perjuangan ini.
Anggota Komisi A Bidang Hukum dan pemerintahan DPRD Surabaya M. Machmud sebelumnya menyesalkan honor ad hoc rendah dibanding PPK di Kabupaten Gresik. "Ini ironis kekuatan APBD Surabaya lebih besar dibanding Gresik," katanya.
Saat ditanya apakah NPHD itu bisa diubah, Machmud mengatakan bahwa NPHD yang sudah diteken sudah tidak bisa diubah lagi karena yang bisa diubah jika calon di Pilkada itu melebihi dari lima calon atau ada persoalan krusial lainnya. Saat itu, ia menyarankan agar Pemkot dan KPU Surabaya konsultasi ke Kementerian Keuangan atau Kementerian Dalam Negeri.
Ketua KPU Surabaya Nur Syamsi pada saat penandatanganan NPHD sempat mengatakan pada awalnya pengajuan dari KPU Surabaya sebesar Rp118 miliar dengan pertimbangan adanya pengajuan dengan berpedoman adanya potensi kenaikan honor ad hoc.
Namun, lanjut dia, berdasarkan kajian bersama, potensi tersebut belum bisa dijadikan dasar hukum pengajuan penganggaran sehingga anggaran Pilkada Surabaya yakni sebesar Rp84.637.990.000.
"Jadi honor ad hoc sama dengan pelaksanaan Pilkada Jatim 2018 dan Pileg 2019," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019