Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan dirinya telah menyuarakan pentingnya pemberantasan "illegal fishing" atau penangkapan ikan secara ilegal sedari dulu, yaitu sejak sekitar tahun 2005 lampau.
"Saya telah mengemukakan tentang IUU Fishing (penangkapan ikan secara ilegal) bahkan sebelum jadi menteri, sejak tahun 2005," kata Menteri Susi di Jakarta, Senin.
Menurut Susi Pudjiastuti, hal tersebut dapat dibuktikan antara lain dari buah pikirannya yang telah ditulis dalam sejumlah artikel di beberapa media massa ketika itu.
Apalagi, ia menyatakan telah berprofesi sebagai pedagang ikan yang telah mengekspor komoditasnya hingga ke negara seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI itu menilai, bahwa sejak sekitar tahun 2000, nelayan Nusantara sudah sukar lagi menangkap produksi ikan seperti kondisi pada beberapa dekade sebelumnya.
Selain itu, ujar dia, kebijakan pemerintah yang pada tahun 2001 yang membuka izin penangkapan ikan bagi kapal perikanan asing dinilai juga semakin menurunkan jumlah stok perikanan nasional.
Untuk itu, lanjutnya, sejak diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014, maka dia memutuskan untuk melakukan moratorium perizinan kapal ikan asing dan eks-asing.
Susi juga fokus dalam memberantas penangkapan ikan ilegal yang hasilnya telah terlihat saat ini, di mana ikan tuna berukuran besar tidak hanya ditangkap oleh kapal besar, tetapi juga nelayan kecil.
Sebagaimana diwartakan, Menteri Susi menyatakan bahwa penangkapan ikan secara ilegal harus dijadikan sebagai kejahatan lintas negara yang terorganisir karena melibatkan banyak kewarganegaraan.
Indonesia, ujar dia, terus berupaya menggalang dukungan negara-negara lain untuk membentuk komunitas yang menyetujui menjadikan kejahatan perikanan ini sebagai transnational organized crime.
Ia mengatakan kapal yang ditangkap umumnya memiliki anak buah kapal (ABK) atau kru dari berbagai negara. Ada yang dari Indonesia, Peru, Myanmar, dan lainnya.
Menurut dia, kebanyakan kapal pelaku penangkapan ikan ilegal itu beroperasi secara global, di mana mereka tidak hanya menangkap ikan di satu negara, tetapi juga di berbagai negara.
Oleh karena itu, ujar dia, menggalang dukungan untuk menjadikan kejahatan perikanan sebagai transnational organized crime menjadi penting. Namun, Menteri Susi menyebutkan bahwa hingga saat ini baru sekitar 16 negara yang menyatakan dukungan.
Tak hanya itu, ia juga menginginkan ada hak laut (ocean rights) bagi laut lepas karena jika 71 persen dari planet bumi adalah laut, 61 persennya merupakan laut lepas.
Selama ini, Indonesia memprioritaskan untuk mengelola laut secara berkelanjutan, antara lain dengan berkomitmen untuk memberantas penangkapan ikan ilegal dan kejahatan perikanan terorganisir transnasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Saya telah mengemukakan tentang IUU Fishing (penangkapan ikan secara ilegal) bahkan sebelum jadi menteri, sejak tahun 2005," kata Menteri Susi di Jakarta, Senin.
Menurut Susi Pudjiastuti, hal tersebut dapat dibuktikan antara lain dari buah pikirannya yang telah ditulis dalam sejumlah artikel di beberapa media massa ketika itu.
Apalagi, ia menyatakan telah berprofesi sebagai pedagang ikan yang telah mengekspor komoditasnya hingga ke negara seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI itu menilai, bahwa sejak sekitar tahun 2000, nelayan Nusantara sudah sukar lagi menangkap produksi ikan seperti kondisi pada beberapa dekade sebelumnya.
Selain itu, ujar dia, kebijakan pemerintah yang pada tahun 2001 yang membuka izin penangkapan ikan bagi kapal perikanan asing dinilai juga semakin menurunkan jumlah stok perikanan nasional.
Untuk itu, lanjutnya, sejak diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014, maka dia memutuskan untuk melakukan moratorium perizinan kapal ikan asing dan eks-asing.
Susi juga fokus dalam memberantas penangkapan ikan ilegal yang hasilnya telah terlihat saat ini, di mana ikan tuna berukuran besar tidak hanya ditangkap oleh kapal besar, tetapi juga nelayan kecil.
Sebagaimana diwartakan, Menteri Susi menyatakan bahwa penangkapan ikan secara ilegal harus dijadikan sebagai kejahatan lintas negara yang terorganisir karena melibatkan banyak kewarganegaraan.
Indonesia, ujar dia, terus berupaya menggalang dukungan negara-negara lain untuk membentuk komunitas yang menyetujui menjadikan kejahatan perikanan ini sebagai transnational organized crime.
Ia mengatakan kapal yang ditangkap umumnya memiliki anak buah kapal (ABK) atau kru dari berbagai negara. Ada yang dari Indonesia, Peru, Myanmar, dan lainnya.
Menurut dia, kebanyakan kapal pelaku penangkapan ikan ilegal itu beroperasi secara global, di mana mereka tidak hanya menangkap ikan di satu negara, tetapi juga di berbagai negara.
Oleh karena itu, ujar dia, menggalang dukungan untuk menjadikan kejahatan perikanan sebagai transnational organized crime menjadi penting. Namun, Menteri Susi menyebutkan bahwa hingga saat ini baru sekitar 16 negara yang menyatakan dukungan.
Tak hanya itu, ia juga menginginkan ada hak laut (ocean rights) bagi laut lepas karena jika 71 persen dari planet bumi adalah laut, 61 persennya merupakan laut lepas.
Selama ini, Indonesia memprioritaskan untuk mengelola laut secara berkelanjutan, antara lain dengan berkomitmen untuk memberantas penangkapan ikan ilegal dan kejahatan perikanan terorganisir transnasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019