Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (KPPPA) meminta pendapat atau menjaring masukan dari pemerhati anak melalui forum anak Sulawesi Tengah, untuk kualitas buku dukungan psikososial anak korban bencana, di Palu, Selasa.
"Kami berharap para pihak dapat memberikan pandangan mengenai kebutuhan-kebutuhan di lapangan yang belum terakomodir dalam buku dukungan psikososial anak korban bencana, serta kritik dan saran membangun lainnya," ucap Asisten Deputi Perlindungan Anak Dalam Situasi Darurat dan Pornografi KPPPA, Ciput Eka Puwianti, di Palu, Selasa.
KPPPA bersama DP3A Sulteng melibatkan para pihak melangsungkan uji coba buku dukungan psikososial untuk anak korban bencana Sulteng, di Palu, Selasa.
Uji coba itu untuk memastikan kualitas buku dukungan psikosial anak korban bencana yang menjadi panduan dalam penanggulangan pascabencana.
KPPPA dalam penyusunan buku tersebut melibatkan Yayasan Pulih dengan menempuh beberapa tahapan penyusunan, mulai dari penulisan draf, konsultasi dengan pemangku kepentingan dan forum anak, uji coba di dua lokasi bencana, serta workshop finalisasi.
Workshop konsultasi pertama dilakukan di Jakarta tanggal 16 September 2019.
Kemudian hasil revisi dari pertemuan atau konsultasi tersebut, diuji coba, di Palu, Selasa, yang menghadirkan para OPD dari DP3A, Dinas Sosial, BPBD dan forum anak dan LSM, pemerhati anak, akademisi, di daerah terdampak bencana.
"Harapan kami bahwa para pihak dapat memberikan sebanyak-banyaknya masukan yang membangun, sehingga hasil akhir akhir dari buku ini benar-benar dapat bermanfaat," kata Eka Puwianti.
KPPPA menilai buku dukungan psikososial yang akan menjadi panduan dalam melakukan dukungan psikososial terhadap anak korban bencana, sangat penting.
Hal itu karena, sebut Eka Puwianti, setiap terjadi bencana alam, anak-anak menjadi kelompok paling rentan dan paling menderita dari pada orang dewasa.
Anak-anak, kata dia, belum bisa menyelamatkan diri sendiri, sehingga peluang menjadi korban jauh lebih besar seperti mengalami trauma fisik dan psikis yang salah satunya karena kehilangan orang tua dan keluarga.
"Selain keterbatasan yang ada di daerah atau lokasi terdampak bencana, membuat para anak mudah terserah berbagai penyakit," ujar dia.
Demikian pula, kata dia, anak-anak rentan terhadap tindak kekerasan seperti menjadi sasaran perdagangan dan pengiriman keluar daerah bencana (trafficking).
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Kami berharap para pihak dapat memberikan pandangan mengenai kebutuhan-kebutuhan di lapangan yang belum terakomodir dalam buku dukungan psikososial anak korban bencana, serta kritik dan saran membangun lainnya," ucap Asisten Deputi Perlindungan Anak Dalam Situasi Darurat dan Pornografi KPPPA, Ciput Eka Puwianti, di Palu, Selasa.
KPPPA bersama DP3A Sulteng melibatkan para pihak melangsungkan uji coba buku dukungan psikososial untuk anak korban bencana Sulteng, di Palu, Selasa.
Uji coba itu untuk memastikan kualitas buku dukungan psikosial anak korban bencana yang menjadi panduan dalam penanggulangan pascabencana.
KPPPA dalam penyusunan buku tersebut melibatkan Yayasan Pulih dengan menempuh beberapa tahapan penyusunan, mulai dari penulisan draf, konsultasi dengan pemangku kepentingan dan forum anak, uji coba di dua lokasi bencana, serta workshop finalisasi.
Workshop konsultasi pertama dilakukan di Jakarta tanggal 16 September 2019.
Kemudian hasil revisi dari pertemuan atau konsultasi tersebut, diuji coba, di Palu, Selasa, yang menghadirkan para OPD dari DP3A, Dinas Sosial, BPBD dan forum anak dan LSM, pemerhati anak, akademisi, di daerah terdampak bencana.
"Harapan kami bahwa para pihak dapat memberikan sebanyak-banyaknya masukan yang membangun, sehingga hasil akhir akhir dari buku ini benar-benar dapat bermanfaat," kata Eka Puwianti.
KPPPA menilai buku dukungan psikososial yang akan menjadi panduan dalam melakukan dukungan psikososial terhadap anak korban bencana, sangat penting.
Hal itu karena, sebut Eka Puwianti, setiap terjadi bencana alam, anak-anak menjadi kelompok paling rentan dan paling menderita dari pada orang dewasa.
Anak-anak, kata dia, belum bisa menyelamatkan diri sendiri, sehingga peluang menjadi korban jauh lebih besar seperti mengalami trauma fisik dan psikis yang salah satunya karena kehilangan orang tua dan keluarga.
"Selain keterbatasan yang ada di daerah atau lokasi terdampak bencana, membuat para anak mudah terserah berbagai penyakit," ujar dia.
Demikian pula, kata dia, anak-anak rentan terhadap tindak kekerasan seperti menjadi sasaran perdagangan dan pengiriman keluar daerah bencana (trafficking).
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019