Perancang Rinaldy Yunardi tak main-main dengan sederet karya seni di bidang aksesori fesyen mulai dari tiara di ujung kepala sampai sepatu sebagai alas kaki.
Bukan hanya satu atau dua pesohor tanah air, Asia hingga Hollywood yang pernah merasakan tangan dingin karya pria yang belakangan sering mengenakan pakaian serba hitam itu.
Penyanyi Syahrini, Melly Goeslaw, Katy Perry, Lady Gaga, Nicki Minaj, bintang dunia Aaron Kwok, hingga Madonna adalah sebagian selebritas yang dimaksud. Dua nama terakhir terasa lebih spesial bagi Rinaldy, karena mereka adalah idolanya selama ini.
Beragam penghargaan juga sudah dia raih dan salah satu yang prestius, di ajang World Of WearableArt (WOW) pada tahun 2017. Dia menyabet tiga piala sekaligus dalam perhelatan itu.
Dunia sudah mengakui karya pria yang sudah 23 tahun berkecimpung dalam fesyen itu. Sementara di sisi lain, Rinaldy mengaku tak pernah bermimpi bisa mencetak pencapaian ini.
"Saya tidak pernah pernah memimpikan mendapatkan apresiasi seperti ini. Saya juga tidak pernah bercita-cita menjadi seorang desainer. Tetapi ini nyata. Saya bersyukur," kata dia kepada ANTARA saat ditemui di kawasan Jakarta Utara pekan lama ini.
Dunia aksesori dan fesyen juga tak sengaja dia geluti. Awalnya hanya iseng, namun perlahan cinta itu tumbuh dan kini dia menganggap semua karya bak buah hatinya.
"Sadar dengan sendirinya, lama-lama tertarik, mencintai lalu terus semakin mencintai semakin berkembang. Pada akhirnya membuat happy. Inilah hidup saya, karya-karya saya adalah anak-anak saya," tutur dia.
Rinaldy tak pernah menempuh pendidikan khusus untuk bidang itu. Dia selama ini hanya belajar dari buku-buku dan orang-orang yang berkecimpung di dalam dunia fesyen. Dia berjuang dari nol.
Eksperimen demi eksperimen, ditambah rasa penasaran dan tanggap pada sekitar menjadi modalnya hingga kini. Dia juga beruntung memiliki teman-teman dan keluarga yang mendukungnya, termasuk perkara marketing.
Biasanya, dia bekerja malam hari karena suasananya relatif lebih tenang. Lembaran-lembaran kertas dan pensil menjadi dua alat yang amat dia butuhkan saat itu.
"Di manapun saya sediakan diri untuk berkarya. Saya tidak menunda. Buat saya yang penting konsentrasi. Musik pelan saja untuk nemenin. Yang perlu kertas dan pensil," tutur dia.
Tiara akrilik, cibiran dan disontek
Karya pertama Rinaldy berupa tiara terbuat dari potongan-potongan akrilik, ditambah payet, sedikit kristal dan disambung menggunakan kawat dan lem. Ukurannya sedang namun ringan.
"Saya tahu itu jam 12 siang. Saya kotak-katik akrilik, saya potong menggunakan wire cut manual. Kok bisa berbentuk kayak Victorian. Saya enggak ngerti kenapa waktu itu menggunakan akrilik," kata dia sambil mengingat proses itu.
Merasa percaya diri dengan karya itu, dia lalu mencoba menawarkan pada berbagai orang. Waktu itu dia menumpang jasa ojek. Selang beberapa waktu, tiara akrilik jadi populer di pasaran.
Sebenarnya, Rinaldy kali pertama tahu tentang tiara saat bekerja bersama perancang Kim Tong tahun 1993. Dia mendapat tugas menjual tiara milik rekannya itu.
"Itu kali pertama saya mengenal tiara. Tetapi belum ada ketertarikan. Tugas saya jualan. Usia saat itu sekitar 23 tahunan. Hanya enam bulan bertahan di sana," kata bungsu dari tiga bersaudara itu.
Tiara akrilik laku di pasaran perlahan membuat Rinaldy semakin percaya diri membuka usaha di bidang aksesori pernikahan termasuk jasa penyewaan tiara.
Terkadang, ada saja pengalaman buruk yang mampir, ditipu hingga dicibir orang lain. Salah satu konsumen pernah kabur tanpa membayar biaya sewa tiara. Waktu itu, sekitar tahun 1990-an, dia menelan rugi sekitar Rp3 juta.
Rinaldy juga pernah dicibir rekan sesama perancang yang sudah lebih dulu terjun ke dunia aksesori.
"Dihina saingan. Dibilang menyontek karya dia. Saya kan dari akrilik, 3,4 cm. Kalau dia kan bisa 7,8 cm. Bahannya beda. Karya saya dilempar ke lantai, hancur. Aduh nangis deh," tutur Rinaldy.
Belum lagi masalah penjiplakan. Rinaldy sebenarnya tahu ulah sesama perancang yang meniru karyanya. Walau tak tegas melarang, dia berharap para peniru bisa menciptakan karya sendiri.
"Saya tidak bisa melarang tetapi jadilah diri sendiri. Silahkan tetapi setelah itu jadi diri sendiri. Memperkaya fesyen Indonesia dengan jati diri masing-masing," kata dia.
Museum fesyen
Sebagai penggiat seni, dia menilai sejarah adalah hal penting. Pada dunia aksesori pernikahan misalnya, berbagai daerah memiliki kekhasan yang perlu masyarakat luas tahu.
Rinaldy menyarankan sebuah museum feysen mungkin bisa dibangun, melalui bantuan pemerintah. Nantinya, masyarakat bisa melihat segala perwujudkan karya aksesori seniman tanah air di museum itu.
"Saya suka fesyen, sejarah. Saya ingin kayak museum fesyen Indonesia. Sejarah berjalan terus. Melihat perwujudan hasil karya para seniman," kata Rinaldy.
Selain museum, buku-buku yang memuat berbagai aksesori dari daerah juga sebaiknya tersedia. "Setiap daerah punya ciri khas dengan teknik hand made sendiri. Sejarah sangat penting. Kenapa ukiran begini, padupadan seperti apa," tutur dia.
Ketika ditanya mengapa bukan dia saja yang membuat buku yang dimaksud, dia menyarankan sebaiknya dilakukan mereka yang ahli. Kalaupun nantinya dia mengeluarkan buku, maka itu tentang diri dan karyanya.
Dalam waktu dekat hingga lima tahu mendatang, Rinaldy sementara fokus pada renovasi galerinya. Pada 19 September mendatang dia terlibat dalam show bertema bunga di Bali.
"Kolaborasi dengan penata bunga lokal. Ciptakan karya yang indah. Tetap edgy dan cantik tetapi enggak seperti karnaval," ujar dia.
Ada sekitar 25-26 aksesori yang dia ciptakan dan semuanya menceritakan soal Indonesia khususnya bunga-bunga khas di tanah air.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
Bukan hanya satu atau dua pesohor tanah air, Asia hingga Hollywood yang pernah merasakan tangan dingin karya pria yang belakangan sering mengenakan pakaian serba hitam itu.
Penyanyi Syahrini, Melly Goeslaw, Katy Perry, Lady Gaga, Nicki Minaj, bintang dunia Aaron Kwok, hingga Madonna adalah sebagian selebritas yang dimaksud. Dua nama terakhir terasa lebih spesial bagi Rinaldy, karena mereka adalah idolanya selama ini.
Beragam penghargaan juga sudah dia raih dan salah satu yang prestius, di ajang World Of WearableArt (WOW) pada tahun 2017. Dia menyabet tiga piala sekaligus dalam perhelatan itu.
Dunia sudah mengakui karya pria yang sudah 23 tahun berkecimpung dalam fesyen itu. Sementara di sisi lain, Rinaldy mengaku tak pernah bermimpi bisa mencetak pencapaian ini.
"Saya tidak pernah pernah memimpikan mendapatkan apresiasi seperti ini. Saya juga tidak pernah bercita-cita menjadi seorang desainer. Tetapi ini nyata. Saya bersyukur," kata dia kepada ANTARA saat ditemui di kawasan Jakarta Utara pekan lama ini.
Dunia aksesori dan fesyen juga tak sengaja dia geluti. Awalnya hanya iseng, namun perlahan cinta itu tumbuh dan kini dia menganggap semua karya bak buah hatinya.
"Sadar dengan sendirinya, lama-lama tertarik, mencintai lalu terus semakin mencintai semakin berkembang. Pada akhirnya membuat happy. Inilah hidup saya, karya-karya saya adalah anak-anak saya," tutur dia.
Rinaldy tak pernah menempuh pendidikan khusus untuk bidang itu. Dia selama ini hanya belajar dari buku-buku dan orang-orang yang berkecimpung di dalam dunia fesyen. Dia berjuang dari nol.
Eksperimen demi eksperimen, ditambah rasa penasaran dan tanggap pada sekitar menjadi modalnya hingga kini. Dia juga beruntung memiliki teman-teman dan keluarga yang mendukungnya, termasuk perkara marketing.
Biasanya, dia bekerja malam hari karena suasananya relatif lebih tenang. Lembaran-lembaran kertas dan pensil menjadi dua alat yang amat dia butuhkan saat itu.
"Di manapun saya sediakan diri untuk berkarya. Saya tidak menunda. Buat saya yang penting konsentrasi. Musik pelan saja untuk nemenin. Yang perlu kertas dan pensil," tutur dia.
Tiara akrilik, cibiran dan disontek
Karya pertama Rinaldy berupa tiara terbuat dari potongan-potongan akrilik, ditambah payet, sedikit kristal dan disambung menggunakan kawat dan lem. Ukurannya sedang namun ringan.
"Saya tahu itu jam 12 siang. Saya kotak-katik akrilik, saya potong menggunakan wire cut manual. Kok bisa berbentuk kayak Victorian. Saya enggak ngerti kenapa waktu itu menggunakan akrilik," kata dia sambil mengingat proses itu.
Merasa percaya diri dengan karya itu, dia lalu mencoba menawarkan pada berbagai orang. Waktu itu dia menumpang jasa ojek. Selang beberapa waktu, tiara akrilik jadi populer di pasaran.
Sebenarnya, Rinaldy kali pertama tahu tentang tiara saat bekerja bersama perancang Kim Tong tahun 1993. Dia mendapat tugas menjual tiara milik rekannya itu.
"Itu kali pertama saya mengenal tiara. Tetapi belum ada ketertarikan. Tugas saya jualan. Usia saat itu sekitar 23 tahunan. Hanya enam bulan bertahan di sana," kata bungsu dari tiga bersaudara itu.
Tiara akrilik laku di pasaran perlahan membuat Rinaldy semakin percaya diri membuka usaha di bidang aksesori pernikahan termasuk jasa penyewaan tiara.
Terkadang, ada saja pengalaman buruk yang mampir, ditipu hingga dicibir orang lain. Salah satu konsumen pernah kabur tanpa membayar biaya sewa tiara. Waktu itu, sekitar tahun 1990-an, dia menelan rugi sekitar Rp3 juta.
Rinaldy juga pernah dicibir rekan sesama perancang yang sudah lebih dulu terjun ke dunia aksesori.
"Dihina saingan. Dibilang menyontek karya dia. Saya kan dari akrilik, 3,4 cm. Kalau dia kan bisa 7,8 cm. Bahannya beda. Karya saya dilempar ke lantai, hancur. Aduh nangis deh," tutur Rinaldy.
Belum lagi masalah penjiplakan. Rinaldy sebenarnya tahu ulah sesama perancang yang meniru karyanya. Walau tak tegas melarang, dia berharap para peniru bisa menciptakan karya sendiri.
"Saya tidak bisa melarang tetapi jadilah diri sendiri. Silahkan tetapi setelah itu jadi diri sendiri. Memperkaya fesyen Indonesia dengan jati diri masing-masing," kata dia.
Museum fesyen
Sebagai penggiat seni, dia menilai sejarah adalah hal penting. Pada dunia aksesori pernikahan misalnya, berbagai daerah memiliki kekhasan yang perlu masyarakat luas tahu.
Rinaldy menyarankan sebuah museum feysen mungkin bisa dibangun, melalui bantuan pemerintah. Nantinya, masyarakat bisa melihat segala perwujudkan karya aksesori seniman tanah air di museum itu.
"Saya suka fesyen, sejarah. Saya ingin kayak museum fesyen Indonesia. Sejarah berjalan terus. Melihat perwujudan hasil karya para seniman," kata Rinaldy.
Selain museum, buku-buku yang memuat berbagai aksesori dari daerah juga sebaiknya tersedia. "Setiap daerah punya ciri khas dengan teknik hand made sendiri. Sejarah sangat penting. Kenapa ukiran begini, padupadan seperti apa," tutur dia.
Ketika ditanya mengapa bukan dia saja yang membuat buku yang dimaksud, dia menyarankan sebaiknya dilakukan mereka yang ahli. Kalaupun nantinya dia mengeluarkan buku, maka itu tentang diri dan karyanya.
Dalam waktu dekat hingga lima tahu mendatang, Rinaldy sementara fokus pada renovasi galerinya. Pada 19 September mendatang dia terlibat dalam show bertema bunga di Bali.
"Kolaborasi dengan penata bunga lokal. Ciptakan karya yang indah. Tetap edgy dan cantik tetapi enggak seperti karnaval," ujar dia.
Ada sekitar 25-26 aksesori yang dia ciptakan dan semuanya menceritakan soal Indonesia khususnya bunga-bunga khas di tanah air.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019