Kasus pengemplangan gaji pekerja migran Indonesia (PMI) yang baru-baru ini ditangani Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah, diduga terjadi akibat penyalahgunaan visa yang dipakai untuk masuk ke Arab Saudi.
Sebagian PMI melaporkan mereka diberangkatkan dengan visa ziarah, namun diberi kartu izin menetap dan bekerja di Saudi. KJRI Jeddah menyebut PMI tidak betah bekerja karena merasa tertekan dan upah yang diterima tidak sesuai dengan kesepakatan.
Menurut Pelaksana tugas harian Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha, persoalan ini perlu dilihat secara komprehensif mengingat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 260 Tahun 2015, wilayah Timur Tengah tertutup bagi penempatan pekerja pengguna perseorangan atau pengguna sektor domestik.
“Kami tengarai, banyak warga kita yang berangkat ke Timur Tengah bekerja tidak sesuai prosedur karena memang sudah kita tutup. Ketika mereka kerja tidak sesuai prosedur, maka mereka tidak dilindungi hak-haknya karena mereka tidak punya kontrak kerja,” kata Judha dalam taklimat media di Jakarta, Selasa.
Tanpa adanya kontrak kerja, para pekerja migran ini rawan dilanggar hak-haknya, sehingga harus dibantu ditangani oleh KJRI Jeddah.
Baca juga: 500 anak pekerja migran Indonesia lanjutkan sekolah di Tanah Air
Dalam keterangan tertulisnya, KJRI Jeddah menyatakan bahwa penanganan tunggakan upah yang menumpuk menjadi lebih rumit saat para pekerja migran Indonesia diminta melakukan cap jempol di atas surat yang mereka tidak pahami isinya, agar para pengguna jasa terhindar dari kewajiban membayar upah bulanan.
“Itulah kompleksitas kasus yang kita hadapi karena pekerja migran kita yang berangkat ke sana nonprosedural, artinya tidak dibekali dengan informasi yang lengkap mengenai apa itu migrasi yang aman dan sesuai prosedur. Lalu, ketika ada masalah mereka tidak tahu ke mana harus mengadu sehingga ketika mereka disodori suatu dokumen, bahkan mereka mungkin tidak paham dengan isinya ya mereka asal cap tentu saja,” kata dia.
Namun, Tim Pelayanan dan Pelindungan KJRI Jeddah tetap mengupayakan pencairan gaji PMI yang umumnya bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART).
Sepanjang Januari hingga Juli 2019, besaran gaji yang berhasil dibantu dicairkan melalui pendampingan hukum oleh KJRI Jeddah mencapai 2.079.883 riyal Saudi atau sekitar Rp7,6 miliar.
Sekitar Rp 7,6 miliar itu merupakan total dari 105 PMI dengan rentang gaji yang bervariasi. Sedangkan massa tunggakan terlama adalah 15 tahun.
Meskipun pemerintah Indonesia masih melakukan moratorium pengiriman PMI yang tidak memiliki keahlian, seperti sopir rumahan dan asisten rumah tangga, permasalahan masih saja bermunculan.
Pelanggaran aturan juga terjadi pada PMI perempuan yang awalnya direkrut perusahaan untuk bekerja sebagai tenaga kebersihan di kantor-kantor dan instansi di Arab Saudi, namun kemudian disalurkan ke sektor rumah tangga.
Karena itu, Kemlu RI juga mendorong ada proses penegakan hukum jika pengiriman PMI ke luar negeri terindikasi memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang sesuai UU Nomor 21 Tahun 2007.
“Jika ada yang mengirimkan warga negara kita bekerja ke daerah tertutup penempatan kemudian menggunakan unsur-unsur penipuan dan sebagainya, itu berarti memenuhi unsur pidana sesuai dengan UU Nomor 21 kita akan lakukan penegakan hukum sehingga ada efek jera bagi pihak yang memberangkatkan sebagai pelaku perdagangan orang,” kata Judha.
Baca juga: BP3TKI: Tujuan pekerja migran Indonesia asal Yogyakarta 53 negara
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019