Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) menilai nota kesepahaman antara Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan industri rokok telah mencederai integritas pendidikan tinggi.

"Pendidikan tinggi seharusnya menjaga netralitas, bukan malah bekerja sama dengan industri adiktif yang secara fundamental memiliki kepentingan bertolak belakang dengan kepentingan kesehatan masyarakat dan pengembangan kualitas sumber daya manusia," tulis siaran pers bersama IAKMI-AIPTKMI yang diterima di Jakarta, Senin.

IAKMI-AIPTKMI menilai industri rokok multinasional seolah-olah mengampanyekan dunia bebas asap rokok melalui yayasan yang mereka dirikan, menyusul pemasaran produk rokok alternatif dengan teknologi pemanasan yang diklaim bahayanya berkurang dibandingkan rokok yang dibakar.

Dampak yang lebih rendah daripada rokok dibakar itu belum memiliki cukup bukti ilmiah yang meyakinkan karena waktu penggunaannya masih terlampau pendek, dan hanya menjadi alasan dan strategi bisnis industri rokok multinasional melalui yayasan dunia bebas asap rokoknya.

"Keperluan pembuktian ilmiah bukan alasan untuk bekerja sama dengan atau mendapatkan dana penelitian dari industri rokok yang memiliki kepentingan bisnis produk adiktif," tulis siaran pers tersebut.

Apalagi, IAKMI-AIPTKMI menilai kampanye pengurangan bahaya rokok tidak membuat industri rokok multinasional menghentikan produksi dan pemasaran rokok konvensionalnya.

"Industri rokok tidak pernah bertujuan mematikan bisnis rokok konvensional ketika mendalihkan membantu kesehatan masyarakat dengan rokok yang diklaim lebih aman," sebut IAKMI-AIPTKMI.

Peredaran produk rokok baru yang bebas dan tanpa pengawasan serta pemasaran yang masif dengan klaim kesehatan yang semakin disesatkan, termasuk oleh kelompok-kelompok yang mengaku prokesehatan, telah menempatkan masyarakat, terutama anak dan remaja, ke dalam risiko kesehatan yang lebih tinggi.

Apalagi, Badan Narkotika Nasional (BNN) telah menemukan narkoba dalam cairan rokok elektronik di pasaran, di tengah euforia ketidaktahuan calon korban dalam penggunaan rokok ganda, yaitu perokok konvensional sekaligus perokok elektronik.

Penelitian Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (Uhamka) Jakarta pada 2018 pada 767 pelajar SMA di Jakarta menemukan 11,8 persen merupakan pengguna rokok elektronik, yang 51 persen diantaranya adalah juga perokok konvensional.

"Menyikapi ancaman epidemi tembakau baru di Indonesia dan beban ganda yang akan mengagalkan upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia, IAKMI-AIPTKMI mendesak Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi membatalkan kerja sama dalam bentuk apa pun dengan industri rokok," pungkas siaran pers tersebut.

Pewarta: Dewanto Samodro

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019