Sabtu (18/5) pagi itu, tidak biasanya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bersama jajarannya mengisi akhir pekannya dengan menelusuri jejak-jejak sejarah di Kampung Peneleh, Kota Surabaya, Jawa Timur.

Peneleh termasuk salah satu kampung kuno Surabaya. Di kampung inilah jejak sejarah ratusan tahun terekam pada artefak-artefak yang hingga kini masih bisa dilihat, mulai dari makam, masjid, pasar, perkampungan, hingga rumah-rumah bersejarah.

Rentang waktunya demikian panjang, mulai dari masa pra-Islam, masa Islam awal, masa kolonial, hingga masa pergerakan kemerdekaan. Sebuah kampung yang menjadi saksi perjalanan Surabaya, bahkan Indonesia, dalam menghadapi pergantian zaman.

Sebagai sebuah kampung yang berusia ratusan tahun, tentu saja banyak peninggalan kunonya. Peninggalan itu tidak hanya berupa tempat yang masih aktif hingga kini yang berupa perkampungan dan pasar, tetapi juga bangunan kuno dan situs lainnya.

Risma memulai penelusurannya itu dari Jalan Lawang Seketeng IV RW 15 Kelurahan Peneleh. Setiap bangunan dan jalan-jalan di gang tersebut, tidak luput dari perhatiannya, perlahan dia terus menelusuri jejak sejarah di kawasan tersebut.

Beberapa sesepuh di tempat itu berusaha menjelaskan setiap bangunan kuno di tempatnya. Hingga akhirnya, tibalah di Langgar Dukur Kayu Lawang Seketeng yang konon dibangun sejak 1893. Bangunan langgar tingkat dua itu memang terlihat kuno dan berbeda dengan bangunan-bangunan di sampingnya.

Meskipun kuno, namun bangunan itu terlihat bersih, seakan tak pernah lupa disapu. Di depan langgar itu, warga juga menunjukkan Al-Quran kuno yang tidak dilengkapi nomor surat dan juznya. Ada pula benda-benda lainnya yang sangat unik. Setelah itu, Wali Kota Risma beserta jajarannya melihat makam tumpuk yang bangunannya juga sangat kuno.


Bung Karno

Penelusuran selanjutnya ke sebuah rumah kuno dan unik yang ternyata di dalam rumah itu diduga terdapat lukisan tangan Presiden RI pertama Soekarno atau dikenal dengan Bung Karno. Bahkan, ada pula meja yang diduga merupakan meja peninggalan salah satu Pahlawan Nasional di Surabaya Bung Tomo (Sutomo).

Bung Tomo menjadi orator dan membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan kembalinya penjajah yang kita kenal dengan pertempuran 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan

Wali Kota Risma pun diajak masuk ke dalam rumah kuno itu. Tampak desain-desain bangunannya masih asri, termasuk lantai-lantainya yang sudah tidak beredar di pasaran. "Kalau bisa rumah ini ditetapkan jadi bangunan cagar budaya saja," kata Wali Kota Risma kepada jajaran yang mendampinginya.

Usai berkunjung ke rumah itu, Wali Kota Risma kemudian pindah ke Pandean Gang 1. Di gang itu, terdapat Sumur Jobong Majapahit yang sudah didesain sedemikian rupa oleh Pemkot Surabaya. Penutup sumur itu pun ditulisi bahwa Sumur Jobong ini terbuat dari bahan terakota. Sumur Jobong seperti ini banyak terdapat pada situs-situs permukiman pada masa Hindu Budha khususnya di Trowulan yang merupakan bekas Ibu Kota Majapahit.

Bahkan, Risma ditunjukkan batu bata dan beberapa gerabah bongkahan keramik serta tulang belulang yang ditemukan di dalam sumur itu. Saat itu, Risma juga sempat membuka beberapa dokumen hasil kajian tim dari Trowulan tentang Sumur Jobong ini.

Pada kesempatan itu, Risma menjelaskan bahwa dulu ada cerita bahwa Kota Surabaya itu namanya Ujung Galuh. Dengan adanya bukti-bukti sejarah ini, maka berarti betul bahwa Surabaya itu jadi kota pada zaman Majapahit.

Oleh karena itu, bukti sejarah ini bisa menjadi situs yang dilindungi, sehingga nantinya bisa dimanfaatkan untuk wisata di Surabaya. Untuk itu dibutuhkan waktu untuk merangkai sebuah cerita antara data yang ada di buku sejarah dengan hasil temuan di lapangan. "Memang sulit tapi bukan tidak bisa, butuh biaya dan waktu," ujarnya.

Menurut Risma, di kampung ini pasti ada sebuah cerita yang terkait dengan masa lampau atau bahkan sebelum abad kolonial. Untuk itu, ia berharap semua itu nantinya dikumpulkan untuk dirangkai dalam satu cerita.

Risma mengatakan bahwa yang paling penting dari semua itu adalah jangan sampai keterkaitan sejarah ini hilang begitu saja. Nantinya, benda-benda itu akan diteliti dan digandengkan cerita-ceritanya, sehingga diharapkan akan diketahui pada masa apa kawasan ini berkembang.

Jika berhasil menggandengkan cerita-cerita itu, Risma yakin bahwa cerita itu akan lebih bagus dan menarik daripada cerita dari Eropa. Karena itu, suatu saat akan dibuat serangkaian cerita, apalagi kawasan ini sudah termasuk kawasan cagar budaya.

Adapun yang tidak kalah bernilai sejarah adalah peninggalan masa pergerakan nasional berupa rumah kuno di Peneleh Gang VII. Sebuah rumah kuno yang bernomor 29-31, yang merupakan kediaman HOS Cokroaminoto. Rumah yang masih dipertahankan keasliannya itu terdiri dari 2 lantai dan berukuran 11x8 meter.

Di rumah inilah bersemi tokoh-tokoh para pendiri Republik Indonesia, di antaranya Soekarno, SM Kartosuwiryo, Musso, Alimin dan lainnya – beberapa tercatat dalam sejarah sebagai pemberontak. Mereka tercatat pernah indekos di rumah itu, sambil ‘nyantrik politik’ pada tuan rumah HOS Cokroaminoto, tokoh pergerakan nasional, pendiri Sarekat Islam (SI) yang terkenal dan masih terbilang cucu pengampu Pesantren Tegalsari Ponorogo tersebut.

Selain itu, di sebelah utara rumah HOS Cokroaminoto terdapat rumah kelahiran Bung Karno di Jl. Pandean Gang IV No. 40. Rumah ini menegaskan simpang-siur kebenaran tempat lahir Sang Proklamator Indonesia ini.

Tidak jauh dari itu, tepatnya di Jl. Plampitan Gang VIII, No 34-36 terdapat Warung Omah Sejarah, yang juga merupakan rumah kelahiran Ruslan Abdulgani. Tokoh yang biasa disebut Cak Roes ini merupakan sekretaris jenderal Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, sekaligus menteri luar negeri, Duta Besar RI di PBB, dan juga Rektor pertama IKIP. Ia cendekiawan dan diplomat ulung asli Surabaya yang disegani di tanah air.


 Makam Kuno

Peninggalan pada masa Belanda adalah makam Belanda Peneleh yang berdiri pada tahun 1814 Masehi, yang dianggap pemakaman modern tertua di dunia. Peninggalan pada masa kolonial ini bisa dilihat dari banyaknya rumah berarsitektur Indies atau bangunan lama di kampung Peneleh.

Selain makam Belanda, di kampung Peneleh juga terdapat makam-makam lama yang dikeramatkan warga. Makam-makam ini diduga berasal dari masa ketika Islam pertama masuk ke Jawa, jauh sebelum Belanda datang.

Di antara mereka diketahui kisahnya, tetapi selebihnya memang masih diselimuti misteri. Di antaranya yang kondang adalah makam Nyai Buyut Champa, Buyut Minggir, Buyut Dawa, Buyut Malang dan Buyut Bening. Hanya saja, makam-makam kuno tersebut kurang terawat.

Menurut pengamat bangunan cagar budaya sekaligus Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya Freddy H. Istanto, jika makam Belanda di Peneleh dirawat, maka akan bernilai tinggi, bahkan tidak kalah dengan makam Pere Lachaise di Prancis.

Freddy menilai pemerintah kota setempat tidak memiliki visi pelestarian bangunan dan situs cagar budaya, sehingga banyak bangunan cagar budaya yang tidak terawat bahkan sebagian ada yang dibongkar oleh pemiliknya.

"Surabaya Kota Pahlawan, Surabaya Kota Sejarah. Orientasi pembangunannya jangan mengesampingkan nilai sejarah. Banyak gedung bertingkat bermunculan. Ini bisa mengancam eksistensi bangunan serta situs cagar budaya," katanya.

Menurut dia, makam Peneleh jika dirawat dengan baik akan jadi obyek wisata heritage. Ia mengatakan bahwa sudah ada desain makam Peneleh hasil desain pakar di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), namun hingga saat ini belum ditindaklanjuti.

Ketua DPRD Kota Surabaya Armudji mengaku prihatin dengan bangunan cagar budaya berupa makam peninggalan Belanda di kawasan Peneleh yang kondisinya memprihatinkan karena tidak terawat. Untuk itu, Armudji berharap Pemerintah Kota Surabaya memberikan perhatian dan sentuhan kepada bangunan cagar budaya tersebut.

Selain makam kuno, di kampung ini terdapat sebuah peninggalan kuno yang terkenal, berpusat di masjid. Warga menyebutnya sebagai Masjid Jami’. Lokasinya di Peneleh Gang V. Menempati lahan seluas 950 meter persegi.

Memang tidak ada yang tahu pasti sejak kapan masjid itu dibangun, tetapi cerita tutur menyebut masjid tersebut dibangun oleh Sunan Ampel pada 1421 M. Awalnya, memang berupa langgar kecil, tetapi akhirnya dipugar menjadi masjid. Sejak abad ke-18, langgar itu menjadi masjid seperti sekarang ini. Sejak itu warga menyebutnya sebagai Masjid Jami’ di Peneleh.

Pada tahun 1986, masjid ini direnovasi tetapi tidak mengubah bangunan aslinya. Hanya serambinya ditambah dan dilakukan pengecatan. Bangunan dan ornamen dalam tidak berubah sama sekali dan masih asli.


 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019