Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah menyarankan agar pemerintah Indonesia menyiapkan dasar gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit.

"Untuk melalui WTO ini pertimbangannya banyak, misalnya dasar indonesia untuk melakukan itu apa? Contohnya katakanlah diskriminasi, kalau misalnya diskriminasi, Uni Eropa (UE) hanya mengatakan bahwa sebetulnya kalau impor sawit masih boleh tapi sawit itu tidak dihitung atau dianggap sebagai bagian dari energi terbarukan," kata Imaduddin kepada Antara di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan bahwa UE membuat "direction" untuk negara-negara anggotanya bahwa alokasi energi mereka harus 32 persennya mencakup energi terbarukan pada 2030.

Menurut dia, sumber energi terbarukan itu bisa bermacam-macam, bisa dari air, angin maupun dari minyak nabati atau biofuel. Untuk biofuel, bisa bersumber darimana saja.

"Tapi kalau yang bersumber dari sawit mereka tidak akan menghitungnya sebagai energi terbarukan, karena biofuel dari sawit justru dianggap meningkatkan indirect land use change (ILUC), dan akhirnya mendorong emisi," tutur Imaduddin.

Menurut dia, hal tersebut yang perlu menjadi dasar gugatan ke WTO. Uni Eropa pintar karena tidak melarang secara langsung. Melihat pernyataan-pernyataan dari kedutaan, Eropa tidak melarang sawit. Memang tidak ada larangan tapi ini menurunkan insentif bagi negara-negara anggota untuk menggunakan biofuel dari sawit.

"Menurut saya ini yang perlu diperdebatkan, apakah memang sawit itu berkontribusi terhadap ILUC. Kalau kita melihat beberapa penelitian, itu masih terlalu simplifikasi. Asumsi bahwa jika ekspansi sawit terjadi maka akan serta merta menimbulkan deforestasi atau serta merta membuat perubahan penggunaan tanah, ini sebetulnya simplifikasi," ujar Imaduddin.

Imaduddin beralasan bahwa jika mau berbicara lebih dalam, bisa melihat bahwa produktivitas sawit adalah empat ton per hektare, sedangkan minyak nabati lain di bawah satu ton per hektare. Artinya secara otomatis lebih produktif sawit.

Dengan demikian secara akademik tidak bisa dipungkiri bahwa sebetulnya Indonesia memiliki pegangan kuat bahwa sawit lebih produktif dan tidak serta merta menyumbang terhadap perubahan penggunaan tanah dan akhirnya berkontribusi pada emisi karbon.

"Ini yang menurut saya perlu menjadi dasar untuk melakukan gugatan di WTO," kata Pengamat INDEF tersebut.

Pewarta: Aji Cakti

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019