Gebrakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang menjalin kerja sama dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada 27 Juli lalu di Gedung BPJS Ketenagakerjaan, perlu diapresiasi oleh semua pihak, khususnya oleh insan olahraga, karena bisa dijadikan sebagai pintu pembuka  untuk melindungi keselamat jiwa seluruh atlet di Indonesia.
     Kerja sama yang sudah ditandatangani oleh Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto dan Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Erick Thohir itu paling tidak tentu juga diamati oleh pemerintah dan DPR yang selama ini bertumpu pada prestasi dan juara saja,  kurang menghiraukan tentang perlindungan  jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JK). 
     Padahal Perlindungan terhadap jiwa atlet juga hal yang penting diperhatikan. Paling tidak adanya jaminan terhadap keselamatan atlet selama berlaga, atau saat berangkat atau pulang bertanding. 
     Bila itu dilakukan, secara tidak langsung bisa meningkatkan semangat para atlet bertanding karena merasa dilindungi.
     Sebagaimana ketentuan yang ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan bahwa  manfaat utama perlindungan JKK ini berupa perlindungan mulai  berangkat dari rumah ke tempat bekerja, saat bekerja dan sampai pulang ke rumah. Bila terjadi kecelakaan kerja, pengobatan sesuai kebutuhan medis tanpa batasan biaya, santunan pengganti upah (dilaporkan) sebesar 100 persen untuk 6
bulan pertama, 75 persen untuk 6 bulan kedua, 50 persen untuk selanjutnya. 
     Kemudian santunan jika mengalami kecacatan 70 persen x 80 bulan upah yang dilaporkan (maksimal 56 kali upah dilaporkan), santunan meninggal 48 kali upah dilaporkan, bantuan beasiswa untuk 1 orang anak sebesar Rp 12 juta bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja dan meninggal dunia/cacat total tetap.   Sementara manfaat Jaminan kematian berupa santunan
sebesar Rp 24 juta serta beasiswa untuk 1 orang anak sebesar Rp 12 juta.
     Santunan yang ditawarkan BPJS Ketenagakerjaan kepada setiap atlet yang mengalami kecelakaan sebesar itu, bahkan ditanggung pengobatannya  sampai si pasien sembuh total, tentu akan menambah semangat bagi atlet ketika berlaga, terutama bagi atlet yang belum mendapatkan pekerjaan tetap.
     Selama mengalami cedera, jelas atlet itu berpotensi kehilangan penghasilan, sementara bagi yang telah berkeluarga dan mempunyai anak tentu menambah beban biaya hidup mereka sehari-hari, apalagi ia berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Atlet Daerah Dilindungi

     Kehadiran BPJS Ketenagakerjaan sebagai pelindung atlet pada  pesta Olahraga Asia 2018 atau Asian Games XVIII  di Jakarta dan Palembang pada 18 Agustus sampai 2 September 2018 ,  setidaknya dapat meringankan beban atlet yang cedera  yang dilaporkan sebanyak 52 atlet. 
     Ketua Tim Medis Kontingen Indonesia di Asian Games Andi Kurniawan menjelaskan dari 52 atlet yang cedera itu, 17 atlet mengalami cedera serius yang membutuhkan operasi, 7 atlet mengalami cedera ringan dan 28 atlet mengalami cedera sedang. Semua pembiayaan berobat ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan.
     Prestasi para atlet yang menghantarkan tim Indonesia menduduki posisi 4 dengan mengumpulkan 31 medali emas, 24 perak, dan 43 perungu itu, bagi yang meraih medali tentu akan mendapatkan bonus dari pemerintah pusat dan dari pemerintah daerah masing-masing. Sementara yang sudah berjuang mati-matian namun gagal, bahkan ada yang mengalami cedera tentu perlu juga mendapatkan perhatian, terutama dalam kesehatan jiwanya.
     Yang perlu dipertanyakan apakah hanya sebatas atlet berprestasi yang berkesempatan mengikuti kejuaraan nasional bahkan internasional saja yang mendapatkan perlidungan. Bagaimana dengan atlet-atlet yang amatiran yang jumlahnya ribuan, tersebar di daerah-daerah hingga tingkat kecamatan, apa tidak perlu mendapatkan perlindungan.
     Padahal bibit-bibit yang akan jadi cikal bakal atlet profesional itu tidak sedikit banyaknya berasal dari daerah. Hanya kurang promosi dan kurangnya para pelatih turun ke daerah, sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan menjadi atlet nasional.
     Langkah yang dilakukan pelatih sepakbola Indra Safri yang blusukan ke daerah-daerah mencari bibit pemain, tentu perlu dicontoh oleh pelatih-pelatih dari cabang olahraga lainnya. 
     Atlet daerah yang jumlahnya ribuan orang itu setidaknya perlu juga mendapatkan perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan. Kerja sama yang dijalin BPJS Ketenagakerjaan selama ini dengan pemerintah daerah seperti pada kejuaraan daerah Pekan Olahraga Tingkat Provinsi (Porprov) adalah bagian dari menjaring para atlet daerah untuk mendapatkan jaminan sosial.
     Namun belum semua atlet daerah mendapatkan perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan. Hanya yang berkesempatan ikut Kejurda saja yang diikutsertakan, itupun belum seluruh provinsi yang mengajak atau mau diajak kerjasama, apalagi 39 induk cabang olahraga seperti  PB. PASI (Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) atau PP. PERTINA (Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia) yang mempunyai banyak atlet binaan.
     Langkah yang tepat bila BPJS Ketenagakerjaan merangkul 39 induk cabang olahraga tersebut untuk diajak kerja sama. Dan BPJS Ketenagakerjaan tentu akan lebih leluasa dan mudah mengajak kerja sama bila ada regulasi dari pemerintah yang sifatnya mengikat.
     Apa yang disampaikan  Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi  saat menerima audiensi Presiden Asosiasi Persepakbolaan Profesional Indonesia (APPI), Firman Utina bersama pengurus APPI)  bahwa tidak hanya menjadi regulasi atau kesepakatan dengan klub tetapi harus ada paling tidak Permenpora untuk mengikat sehingga menjadi pintu masuk minimal BPJS
tidak lagi meragukan profesi atlet.
     Menteri mengatakan pihaknya tidak ingin ada bentrok yang dinilai menjadi intervensi, untuk itu ia menekankan dari sisi legalitas untuk betul-betul di detailkan agar jelas dimana pemerintah hadir dalam konteks melindungi bukan mempersulit atlet/pemain.
     Sementara Firman Utina mengatakan bahwa di Indonesia belum ada jaminan asuransi untuk pemain sepakbola karena saat ini perlindungan mereka baru diperoleh dari klub dimana mereka bermain. Firman pun mengambil contoh kasus meninggalnya Kiper Persela Lamongan.
     "Sebagai contoh meninggalnya Kiper Persela Lamongan Khoirul Huda yang menjadi sorotan dunia karena tidak adanya asuransi yang mencover, kami ingin adanya asuransi yang sama rata tidak hanya di Liga 1 tetapi juga Liga 2," jelas Firman Utina.
     Berkaca dari kasus sepakbola dan mungkin banyak kasus serupa di cabang olah raga lainnya, ke depan berharap tidak terulang lagi atlet mendapat cedera atau meninggal dunia, namun tidak mendapatkan jaminan sosial. 
     Pemerintah memang mesti hadir setidaknya membuat regulasi yang mengatur tentang perlunya pengelola olahraga mendaftarkan atletnya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Pewarta: Ridwan Chaidir

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2018