Tangerang  (ANTARA News Banten) - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil menginginkan penyelesaian sengketa tanah bisa cepat selesai untuk memberikan kepastian berusaha di Indonesia.

"Pemerintah memiliki cara penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi yang prosesnya bisa lebih cepat tentunya masing-masing pihak harus bisa menerima (win-win solution)," kata Sofyan Djalil dalam sambutannya pada peluncuran buku panduan penanganan konflik berbasis lahan di Jakarta, Kamis.

Ditambahkan Sofyan, penyelesaian melalui mediasi ini merupakan alternatif yang lebih cepat untuk menghindari mekanisme penyelesaian melalui pengadilan yang membutuhkan waktu karena ada proses hukum di dalamnya.

Menurut dia, penyelesaian sengketa melalui pengadilan tata usaha negara dan/atau peradilan umum pada umumnya membutuhkan waktu yang lama. Tidak sedikit salah satu pihak merasa tidak puas dengan putusan pengadilan yang dijatuhkan, dan  melakukan berbagai upaya  hukum yang ada, sehingga penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut. 

Kemudian untuk penyelesaian sengketa tanah melalui jalur arbitrase  sampai sekarang juga belum ada yang memanfaatkannya, jelas Sofyan.

Lebih jauh Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Shinta W. Kamdani mengatakan buku panduan penanganan konflik berbasis lahan diharapkan menjadi pegangan bagi pengusaha agar lebih mudah untuk menangani masalah pertanah termasuk kalau terjadi sengketa.

Penerbitan buku panduan tersebut merupakan kerja sama IBCSD dengan Kadin Indonesia berangkat dari keprihatinan atas data yang menunjukkan kerugian akibat konflik berbasis lahan antara masyarakat dan dunia usaha mencapai nilai 70.000 sampai 2,5 juta dolar AS.

Kerugian itu berasal dari  resiko hilangnya potensi pendapatan dan hilangnya kesempatan, termasuk kehilangan laba, staf, biaya hukum, kompensasi, atau naiknya biaya produksi. Sementara kerugian tidak berwujud potensinya mencapai sekitar  600.000 sampai 9 juta dolar AS.

Studi  lain memperkirakan adanya kenaikan biaya konsumsi hingga 2 kali lipat yang harus ditanggung oleh masyarakat yang terdampak konflik berbasis lahan. Kenaikan ini terutama dipicu oleh menghilangnya hasil hutan untuk konsumsi yang semula dapat diperoleh secara cuma-cuma, jelas dia.

Shinta mengatakan  panduan tersebut juga didasari atas kesadaran akan pentingnya membangun sistem pengelolaan konflik yang efektif dan tepat guna dalam setiap tahap pembangunan yang berkelanjutan. 

Dengan terbangunnya kesadaran, setiap pihak termasuk pelaku usaha dapat mulai berkontribusi terhadap upaya penanganan konflik yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, jelas dia.  

Panduan ini juga bisa digunakan bagi perusahaan yang  telah memiliki prosedur penyelesaian konflik namun ingin memperbaiki ataupun perusahaan yang sedang menyusun prosedur penyelesaian konfliknya. Tidak menutup kemungkinan  panduan ini juga dapat digunakan sebagai rujukan perusahaan sektor lainnya, jelas dia.

Shinta mengatakan pentingnya  untuk mengelola konflik, agar kerugian dapat diminimalkan dan dapat menjadi titik awal hubungan yang baru yang lebih konstruktif mengingat konflik menyebabkan kerugian bagi semua pihak.

Dalam acara ini hadir juga sejumlah perwakilan dari pelaku usaha diantaranya PT Rimba Makmur Utama, PT Riau Andalan Pulp & Paper, Sintesa Group dan Siam Cement Group Indonesia. 

IBCSD merupakan asosiasi yang lahir dari inisiatif sekumpulan perusahaan yang memiliki komitmen dalam mempromosikan pembangunan  berkelanjutan melalui pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, keseimbangan ekologi dan kemajuan sosial.

Baca juga: Warga Adukan Lahan 2,5 Hektare Dikuasai Perusahaan

Pewarta: Achmad Irfan

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2018