Serang (Antara News) - Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalam pencegahan dan penanganan anak korban jaringan terorisme.

Asisten Deputi (Asdep) Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi (PABHS) pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlingungan Anak (Kemen-PPPA) Ali Khasan di Serang, Jumat, mengatakan seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam pencegahan dan penanganan anak korban terorisme. Meski persentasenya kecil, potensi kasus anak korban terorisme perlu diantisipasi.

"Kalau terkait anak korban jaringan terorisme itu kategori anak perlindungan khusus diatur dalam UU 35/2014 tentang perubahan UU 23/2002 tentang perlindungan anak. Saat ini Kemen-PPPA tengah menyusun aturan turunannya berupa pedoman petunjuk pelaksanaan dan teknisnya," kata Ali Khasan disela sosialisasi kebijakan perlindungan ABH tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik/akademisi, ormas, dunia usaha dan media massa.

Hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Banten, Sitti Ma'ani Nina.

Ali Khasan mengatakan, anak sebagai korban kejahatan terorisme bukan sepenuhnya kesalahan anak itu sendiri. Hal tersebut karena dipengaruhi berbagai hal, seperti pengetahuan, pengasuhan orang tua, dan lingkungan.

"Meskipun kemudian anak itu menjadi pelaku tetap, statusnya adalah korban. Sehingga perlu penanganan khusus dari berbagai elemen masyarakat," katanya.

Ali mencontohkan, anak yang dijadikan kurir, karena ada orang-orang yang tidak bertanggungjawab mengeksploitasi. Sehingga ini perlu peran seluruh elemen untuk bersinergi dalam mencegah dan menangani anak korban terorisme tersebut.

Ia mengungkapkan, sejauh ini memang belum ada data riil tentang anak korban terorisme, termasuk di Banten. Sementara, beberapa temuan di antaranya di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

"Kerawanan memang belum, data juga belum terkumpul secara holistik. Namun, ada gejala-gejala yang perlu kita antisipasi sebagai pencegahan. Oleh karena itu sebelum terlanjur jadi korban jaringan terorisme kita antisipasi buatkan kebijakan pedoman penanganan anak jaringan terorisme, sampai bagaimana nanti merehabilitasi dan mengedukasi anak-anak, diberikan pemahaman yang benar," kata Ali.

Sementara, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Sitti Ma'ani Nina mengatakan, sosialisasi tersebut sekaligus untuk menampung masukan dari berbagai elemen untuk penyempurnaan dalam penyusunan pedoman penanganan anak korban jaringan terorisme.

"Data teroris itu data khusus, melibatkan densus 88, intelijen dan lainnya terkait dengan keamanan dan ketertiban negara. Kalau data pasti ada, tapi untuk membuka data perlu pemahaman bersama apa harus diungkap atau tidak. Yang pasti penanganannya harus bersama-sama, sinergis dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lainnya," kata Nina.

Nina mengatakan, untuk di Banten temuan terkait hal itu ada, yakni anak dari terpidana mati Bom Bali II Imam Samudera yang tewas di Suriah pada 2015 lalu. 

Pewarta: Mulyana

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2017