Jakarta (Antara News) - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengingatkan penolakan taksi online yang kerap terjadi disejumlah daerah disebabkan perusahan ini belum memenuhi aturan yang berlaku baik ditingkat pusat maupun daerah.

"Kalau ditingkat pusat berpegang kepada Peraturan Menteri Perhubungan No. 32 tahun 2016 tentang pengadaan angkutan umum atau kalau di daerah dapat mengacu kepada pergub yang mengatur angkutan umum," kata Djoko saat dihubungi, Minggu.

Djoko mengatakan pengusaha taksi online (berbasis aplikasi) sejatinya juga bergerak dalam bisnis penyediaan angkutan umum maka diwajibkan mengikuti seluruh peraturan yang berlaku yang selama ini juga dikenakan kepada pengusaha taksi konvensional.

Djoko mengingatkan aplikasi itu hanya alat untuk memudahkan konsumen mendapatkan taksi, namun keberadaan angkutan umum termasuk transportasi berbasis aplikasi (atau perusahaan aplikasi yg menyediakan jasa transportasi) harus memenuhi aturan yg berlaku. Hal ini untuk menjaga keselamatan masyarakat itu sendiri dan persaingan yang sehat.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya minta agar taksi berbasis aplikasi untuk memenuhi aturan. Banyak armada taksi aplikasi tersebut belum memenuhi uji kir atau kelayakan yang diwajibkan pemerintah sebagai syarat untuk mendapatkan ijin usaha. Selain itu, penyedia jasa transportasi online tersebut juga belum membayar tagihan pajak yang ditetapkan pemerintah.

Sedangkan Kasie SIM Subdit Regident Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Donny Hermawan menyatakan pengemudi taksi online wajib mengantongi SIM A umum.

Pihaknya telah memfasilitasi uji SIM bagi pengemudi taksi online, mereka harus lulus uji teori dan simulator, ujar dia.

"KIR dan SIM sangat penting karena terkait langsung dengan keamanan penumpang," kata Dirjen Perhubungan Darat, Puji Hartanto Iskandar menambahkan.

Salah satu daerah yang melarang beroperasinya taksi berbasis aplikasi adalah Bali yang sampai saat ini masih melakukan razia terhadap angkutan taksi berbasis aplikasi baik melalui pihak Kepolisian maupun Dinas Perhubungan, atau melalui operasi gabungan.

Alasan Pemprov Bali melakukan razia terhadap taksi berbasis aplikasi karena taksi-taksi tersebut tidak mengantongi izin angkutan.

Pemprov Bali tetap menerapkan dan menindaklanjuti Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali No.551/2783/ DPIK tanggal 26 Februari 2016 yang melarang Operasional angkutan aplikasi online Taksi Uber, GrabCar dan GoCar di Bali.

"Kami tetap akan memberlakukan SK Gubernur Bali tentang Pelarangan Operasional Angkutan Aplikasi Online Taksi Uber, GrabCar dan GoCar di Bali," kata Kepala Dinas Perhubungan Ketut Artika.

Tidak hanya di Bali, penolakan terhadap beroperasinya taksi berbasis aplikasi dilaporkan juga terjadi di Surabaya, Yogyakarta, Makassar dan kota-kota lainnya. Jadi hal ini dapat berdampak luas sehingga pemerintah terutama pemerintah pusat harus tegas dalam menerapkan peraturan yang berlaku.

Penolakan terhadap taksi berbasis aplikasi juga terjadi di banyak Negara. Seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jerman, Korea Selatan, Australia, Beligia, Kanada, Belanda, India dan Jepang. Salah satunya yang terbaru adalah Taiwan yang pada awal Agustus lalu komisi investasi negara tersebut menyatakan bakal mengusir Uber dari negaranya lantaran dianggap salah mendefinisikan layanannya.

Menurut komisi tersebut Uber telah memberikan informasi yang keliru dengan menyampaikan layanannya berbasis teknologi informasi, namun kenyataannya perusahaan ini menyediakan layanan transportasi. Komisi tersebut menyatakan keputusan final terkait larangan tersebut akan dikeluarkan pada Agustus ini. Komisi Investasi Taiwan sendiri merupakan komisi yang mengawasi setiap investasi asing yang masuk ke Taiwan.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016