Jakarta (Antara News) - Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas Nugroho Tri Utomo menilai holding BUMN perumahan perlu diarahkan menjadi national housing provider dalam rangka menyediakan rumah layak bagi masyarakat berpendapatan rendah.

"Revitalisasi BUMN di bidang perumahan sudah dituangkan dalam RPJM 2015 - 2019 serta menjadikannya sebagai National Housing Provider dalam rangka mewujudkan program sejuta rumah," kata Nugroho di Jakarta, Kamis.

Pemerintah melalui Kementerian BUMN, lanjut dia, telah mewacanakan pembentukan holding (induk perusahaan) BUMN di bidang perumahan di mana di dalamnya akan diisi oleh BUMN dengan fungsi-fungsi sebagai holding, perencana, dan pelaksana konstruksi/ pengembang, jelas Nugroho.

Nugroho menegaskan, penyediaan rumah bagi MBR harus memenuhi rumah layak huni sesuai amanat UU No 11 tahun 2011 ditambah subsidi yang disediakan pemerintah seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, dan subsidi uang muka.

Nugroho mengatakan, fasilitas ini baru diberikan kepada pekerja di sektor formal, sedangkan untuk pekerja non formal (bukan gaji) sedang dikembangkan konsep subsidi berdasarkan tabungan (saving subsidiary housing finance) yang targetnya terlaksana pada 2017.

Kemudian pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2015 tentang Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) di mana di dalamnya pemerintah secara tegas memerintahkan untuk menyelenggarakan kegiatan pengadaan rumah bagi MBR, jelas Nugroho.

Kehadiran holding ini nantinya bisa juga sebagai off taker, yakni sebagai pembeli rumah yang dibangun oleh pengembang (BUMN/ swasta) sepanjang memenuhi kriteria kualitas rumah layak huni dan lokasinya dekat dengan tempat kerja, jelas Nugroho.

Menurut dia, holding ini nantinya dapat membeli rumah dari pengembang dengan harga pasar, kemudian menjual kembali kepada MBR dengan berbagai skema bantuan (subsidi), meskipun pembahasan untuk itu belum final.

Nugroho berharap pembahasan pembentukan holding BUMN khusus di bidang perumahan ini dapat segera difinalisasikan untuk mengejar backlog (kekurang) ketersediaan rumah bagi MBR.

Holding itu nantinya juga diperkenankan untuk menyediakan land banking khusus perumahan MBR, kewenangan terkait hal tersebut sudah ada payung hukumnya melalui PP, jelas dia.

Sebelumnya, pengamat ekonomi INDEF  Enny Srihartati mendesak kepada pemerintah untuk segera memperkuat institusi di bidang perumahan  apabila ingin segera mewujudkan program sejuta rumah.

"Kalau melihat kondisi sekarang justru yang banyak tumbuh rumah mewah dengan harga di atas Rp1 miliar, sedangkan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) volume sangat jarang di pasar," kata Enny.

Enny mengingatkan hampir 60 persen pembelian rumah saat ini bukan untuk ditempati namun untuk dijual kembali (sebagai investasi) sehingga tidak mengherankan harga rumah di Indonesia bisa naik demikian cepat.

"Hitungannya bukan lagi tahun tetapi hari. Rumah di Jabodetabek misalnya saat diluncurkan Rp1 juta per meter persegi, namun dalam waktu satu minggu bisa naik menjadi Rp5-6 juta per meter persegi," ujar dia.

Kondisi demikian membuat banyak pengembang yang lebih suka menggarap pasar menengah atas ketimbang pasar MBR. Terkait hal itu kehadiran institusi dibidang perumahan yang peduli terhadap pengadaan rumah bagi MBR sudah sangat mendesak, jelas Enny.

Enny mengatakan program sejuta rumah ini tidak dapat diserahkan kepada pengembang, apalagi dengan pola 1:2:3. Terkadang rumah yang dibangun lokasi yang sangat jauh sehingga menyulitkan pembelinya.

"Salah satu tingginya kredit macet (NPL) di sektor perumahan karena pembeli rumah tidak meneruskan cicilannya karena kesulitan menjangkau lokasi dari tempatnya berkerja," ujar Enny.

Enny mengatakan untuk mewujudkan program sejuta rumah, harus ada kemudahan akses bagi calon pembeli dari kelompok MBR untuk membeli rumah yang ideal dan tentunya mudah untuk dijangkau. Program sejuta rumah ini harus segera diwujudkan apabila Indonesia ingin memenuhi target MDGs.

Enny mengatakan terdapat 600 ribu MBR yang kebutuhan rumah layak huni belum terpenuhi, karena persoalan daya beli. Data susenas BPS masyarakat yang memiliki kemampuan mencicil di bawah Rp500 ribu hanya di bawah 15 persen.

Sebagai tahap awal untuk melaksanakan program tersebut adalah dengan melakukan pemetaan kebutuhan rumah bagi MBR, setelah itu barulah dilanjutkan dengan pengadaan tanah berkerja sama dengan pemerintah daerah, jelas Enny.

Kemudian dalam rangka meningkatkan kemampuan membeli MBR maka harus ada kebijakan dibidang perpajakan misalnya ada semacam keringanan atau bahkan dihapus sama sekali, kemudian perlu juga dibuat kebijakan agar rumah tersebut benar-benar untuk ditinggali, bukan untuk dijual kembali, ujar Enny. 

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016