Jakarta (Antara News) - Dua asosiasi industri berharap pemerintah segera menyesuaikan harga gas agar industri di dalam negeri lebih kompetitif mengingat harga gas di luar negeri saat ini sudah mengalami penurunan.

"Harga minyak mentah dunia saat ini turun 75 persen mencapai 30 dolar AS per barel, hal ini kemudian diantisipasi pemerintah dengan menurunkan harga BBM melalui deregulasi tahap III. Namun sayangnya harga gas sampai saat ini tidak berubah," kata Sekjen Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI), Ridwan Adipoetra di Jakarta, Rabu.

Menurut Ridwan kalau hal seperti ini dibiarkan akan membuat industri kimia di dalam negeri semakin sulit bersaing. Penyesuaian harga gas baru diberikan kepada industri pupuk dari 10 dolar per MMBTU menjadi 7 dolar AS per MMBTU.

Ridwan mengatakan industri kimia tidak menuntut harus turun 75 persen sesuai harga minyak mentah, turun sebesar 20 persen saja sudah sangat membantu dari posisi saat ini berkisar 8 sampai 10 dolar AS per MMBTU.

Ridwan mengatakan harga gas di berbagai negara saat ini berbeda-beda namun yang jelas telah mengalami penurunan. Mungkin kalau dirata-ratakan harga gas saat ini sekitar 5 dolar AS per MMBTU, tentunya dengan harga yang semakin tinggi di dalam negeri akan menyulitkan bagi industri untuk berkembang.

Dia menunjukkan contoh harga ember di supermarket saat harga minyak mentah di luar negeri masih tinggi sekitar 120 dolar AS per barel dengan kondisi sekarang 30 dolar AS per barel relatif masih sama bahkan harganya naik.

Ridwan mengatkaan kondisi membuat industri kimia di dalam negeri semakin terjepit, untuk ekspor sulit bersaing, sedangkan di dalam negeri daya beli masyarakat semakin terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk menaikkan harga.

Menurut Ridwan belum turunnya harga gas ini akan berpengaruh kepada industri yang mengkonsumsi gas sebagai bahan baku seperti industri petrokimia serta industri keramik yang rata-rata komponen gas dipergunakan 10 sampai 50 persen.

Hal serupa juga disampaikan Sekjen the Indonesian Olefin and Plastic Association (INAPLAS), Fajar Budiono yang mengatakan harga gas saat ini tidak berubah masih 8,5 sampai 10 dolar AS per MMBTU, padahal kalau melihat harga di luar negeri seharusnya bisa di bawah 6 dolar AS per MMBTU.

Kalau harganya sudah berbeda dengan luar negeri jelas bagi industri plastik dan petrokimia di dalam negeri semakin sulit untuk bersaing, apalagi dalam waktu dekat menghadapi MEA, sementara harga gas di negara ASEAN sudah dilakukan penyesuaian sejak lama.

Fajar mengaku pihaknya dalam berbagai forum dengan Kementerian Perindustrian telah meminta agar harga gas dapat segera dilakukan penyesuaian mengikuti harga yang berkembang di pasar.

Fajar mengatkaan kalau harga gas masih manteng di posisi 8 - 10 dolar AS per MMBTU tidak tertutup kemungkinan industri petrokimia dan plastik akan mencari bahan baku subtitusi seperti batubara.

Menurut dia untuk beralih ke batubara sangat dimungkinkan karena awal industri petrokimia memang menggunakan batubara. Bisa juga menggunakan solar dengan harga industri mengingat harganya saat ini Rp6.200 per liter masih terjangkau ketimbang harga gas.

Namun persoalannya masih ada industri yang telah terlanjut menggunakan 100 persen gas. Untuk yang industri ini memang tetap bergantung kepada gas tidak bisa disubtitusikan. 

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016