Jakarta (Antara News) - Akademisi dari Universitas Samratulangi Manado, Sulawesi Utara, Prof. Dr. OC Kaligis menyatakan Peradilan Perikanan belum efektif dalam mengunakan UU Perikanan sebagai dasar beracara.

"Salah satu faktor adalah sikap aparat itu yang menerapkan UU, seperti contoh kasus kematian nelayan di Sulawesi Selatan karena pengunaan bom ikan," kata OC Kaligis di Jakarta, Selasa.

Kaligis mengatakan hal itu pada pemaparan dihadapan ratusan peserta Lemhanas Angkatan ke-53 di Jakarta dengan tajuk "Optimalisasi Penegakan Hukum di Laut Guna Terwujudnya Indonesia Sebagai Poros Martim Dunia".

Dia mengatakan seyogianya penyidik bisa memakai UU Perikanan, tetapi ternyata lebih memilih KUH Pidana, padahal UU Perikanan mengancam pidana setiap orang yang menangkap ikan dengan mengunakan bom ikan.

Menurut dia, kasus lain yang prosesnya mengunakan peradilan umum adalah pengunaan pukat hela oleh nelayan.

Pengadilan Perikanan adalah pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana perikanan.

Saat ini telah ada sebanyak 10 Pengadilan Perikanan yang dibentuk tahun 2004 berada di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, Tual dan berdasarkan Keppres No.5 tahun 2010 dibentuk Peradilan Perikanan di Tanjung Pinang, Ranai dan tahun 2014 di Ambon, Sorong serta Merauke.

Kebijakan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Susi Pujianstuti dengan melakukan penenggelaman kapal asing yang melakukan tindak pidana bidang perikanan adalah tepat.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisaksi Jakarta itu juga mengatakan sebagai landasan hukum adalah UU No.45 tahun 2009 membenarkan tindakan tersebut agar memberikan efek jera.

Bagi nelayan asing yang tertangkap basah melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia tidak perlu melalui serangkaian tindakan penyidikan dan penuntutan, namun langsung dilakukan penangkapan seperti diatur dalam UNCLOS (Perjanjian PBB Mennegai Hukum Laut).

Dia mengatakan sebanyak 14 UU dan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai instrumen hukum yang mengatur di bidang maritim, diantaranya UU No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Namun setelah melakukan beberapa kajian bahwa peraturan perundang-undangan yang ada itu masih belum memadai untuk mendukung Indonesia selaku poros maritim dunia.

Sedangkan jenis kebijakan yang dapat mendukung realisasi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah kebijakan yang bersifat komprehensif.

Kaligis mengutip Profesor Geffrey Till, ahli maritim Inggris menyebutkan Laut Cina Selatan memegang peranan penting mengingat kondisi geopolitik saat ini. 

Pewarta: Adityawarman

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2015