Saya cukup terkejut, ketika membaca berita: penonton film "Yuni" menembus 100 ribu orang. Biasanya film sekelas festival nasibnya bagus di beberapa Film Festival Internasional, tapi begitu dilempar ke pasar, kurang menghasilkan cuan dan masyarakat umum tidak merespon.
Film "Yuni" garapan Kamila Andini dari Fourcolours sebetulnya berada di zona mengerikan - mendapat slot di bulan Desember. Lihat saja pesaingnya. Film "Yo Wis Ben" menembus 500K penonton. Jangan tanya film "Spiderman: No Way Home" (yang menurut saya dari segi cerita buruk sekali) yang setiap hari penuh terus. Tapi "Yuni" bisa mencuri perhatian.
Baca juga: Literasi keluarga dan masyarakat dimaksimalkan
Film "Yuni" barangkali karena terkesan biasa, pemain-pemainnya juga biasa, sehingga terasa dekat dengan penonton marjinal. Ceritanya memang "rumit" tapi sangat dekat dengan masyarakat. Setting lokasi cerita di filmnya juga sangat "ngindonesia" yang "terhimpit" industrialisasi. Agraris yang dikepung cerobong pabrik.
Serang - Banten menjadi identitas penting di film ini. Terutama dialog para pemainnya yang menggunakan bahasa Jawa Serang. Komunitas Rumah Dunia dan Komunitas Bahasa Jawa Serang menjadi bagian menarik di proses produksinya.
Gejolak di masyarakat Banten tentu pro dan kontra. Budaya patriarki yang oleh Kamila Andini coba dihancurkan lewat karakter tokoh "Yuni" bisa diperdebatkan dan itu tidak apa-apa. Terutama saat tokoh Mang Dodi diantar isterinya untuk membeli keperawanan tokohe Yuni seharga "Selawe juta" . Banyak penonton dari Banten yang terganggu dengan scene ini.
Sebetulnya ketika banyak yang kontra terhadap sebuah karya fiksi, tidak ada yang perlu dibela - dalam dunia fiksi. Biarkan saja film Yuni bergerak menemukan penontonnya dengan beragam nalar kritisnya..
Serba biasa ini mungkin jadi mengejutkan. Jika film "Yuni" ini terus saja dikomunikasikan dengan baik oleh yang sudah menonton kepada temannya yang belum menonton, saya yakin trendnya terus meningkat.
Para menteri kabinet Jokowi seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Sosial, Menteri Ekonomi, dan Menteri Pendidikan harus menonton film "Yuni" agar tahu, bahwa sedang ada perlawanan dari kaum perempuan dalam persoalan "penguasaan atas tubuh perempuan". Barangkali kalau Simone de Beauvoir - tokoh Feminisme dari Perancis masih hidup, Kamila Andini sedang ngopi bareng di Champs-Ellysees, Perancis.
Nah, nonton, ya. Supaya diskusi kita jadi lebih asik.Psrcayalah, film "Yuni" seolah kita sedang membaca generasi Z Indonesia - terutama perempuannya - sedang menggeliat menentukan masa depannya di depan hegemoni kaum lelaki.
Gol A Gong
Duta Baca Indonesia
Berdaya dengan Buku
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
Film "Yuni" garapan Kamila Andini dari Fourcolours sebetulnya berada di zona mengerikan - mendapat slot di bulan Desember. Lihat saja pesaingnya. Film "Yo Wis Ben" menembus 500K penonton. Jangan tanya film "Spiderman: No Way Home" (yang menurut saya dari segi cerita buruk sekali) yang setiap hari penuh terus. Tapi "Yuni" bisa mencuri perhatian.
Baca juga: Literasi keluarga dan masyarakat dimaksimalkan
Film "Yuni" barangkali karena terkesan biasa, pemain-pemainnya juga biasa, sehingga terasa dekat dengan penonton marjinal. Ceritanya memang "rumit" tapi sangat dekat dengan masyarakat. Setting lokasi cerita di filmnya juga sangat "ngindonesia" yang "terhimpit" industrialisasi. Agraris yang dikepung cerobong pabrik.
Serang - Banten menjadi identitas penting di film ini. Terutama dialog para pemainnya yang menggunakan bahasa Jawa Serang. Komunitas Rumah Dunia dan Komunitas Bahasa Jawa Serang menjadi bagian menarik di proses produksinya.
Gejolak di masyarakat Banten tentu pro dan kontra. Budaya patriarki yang oleh Kamila Andini coba dihancurkan lewat karakter tokoh "Yuni" bisa diperdebatkan dan itu tidak apa-apa. Terutama saat tokoh Mang Dodi diantar isterinya untuk membeli keperawanan tokohe Yuni seharga "Selawe juta" . Banyak penonton dari Banten yang terganggu dengan scene ini.
Sebetulnya ketika banyak yang kontra terhadap sebuah karya fiksi, tidak ada yang perlu dibela - dalam dunia fiksi. Biarkan saja film Yuni bergerak menemukan penontonnya dengan beragam nalar kritisnya..
Serba biasa ini mungkin jadi mengejutkan. Jika film "Yuni" ini terus saja dikomunikasikan dengan baik oleh yang sudah menonton kepada temannya yang belum menonton, saya yakin trendnya terus meningkat.
Para menteri kabinet Jokowi seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Sosial, Menteri Ekonomi, dan Menteri Pendidikan harus menonton film "Yuni" agar tahu, bahwa sedang ada perlawanan dari kaum perempuan dalam persoalan "penguasaan atas tubuh perempuan". Barangkali kalau Simone de Beauvoir - tokoh Feminisme dari Perancis masih hidup, Kamila Andini sedang ngopi bareng di Champs-Ellysees, Perancis.
Nah, nonton, ya. Supaya diskusi kita jadi lebih asik.Psrcayalah, film "Yuni" seolah kita sedang membaca generasi Z Indonesia - terutama perempuannya - sedang menggeliat menentukan masa depannya di depan hegemoni kaum lelaki.
Gol A Gong
Duta Baca Indonesia
Berdaya dengan Buku
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021