Jakarta, (Antara News) -   Tahun ini tampaknya merupakan "hujan kado",karena bukan hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diberi "kado" oleh mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, tetapi juga adanya kado tahun baru untuk Komisi Yudisial (KY) dari Mahkamah Monstitusi soal pemberian wewenang lebih yang sebelumnya berada di DPR.
    
Diterimanya putusan judicial review  oleh Mahkamah Konstitusi  atas kewenangan DPR tidak lagi menjalankan uji kepatutan dan kepatuhan terhadap para calon hakim agung, merupakan kado berharga bagi Komisi Yudisial (KY) pada awal tahun baru ini.
    
Selama ini para calon hakim agung yang sudah lolos dari seleksi KY diajukan ke DPR untuk mendapatkan pengujian lanjutan (fit and proper test) sehingga para calon hakim agung harus mencari mitra atau patron politiknya untuk mengusung dirinya lolos sebagai hakim agung.
    
Kewenangan DPR untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan itulah yang sering mendorong para calon untuk melakukan penyuapan atau negosiasi dengan para anggota Dewan untuk mendukung atau meloloskannya. Pemotongan kewenangan DPR-itulah yang menjadikan perspektif hukum dimasa depan akan lebih terjaga dari campur tangan politik.
    
Seperti yang disampaikan Ketua DPR Marzuki Alie, jika DPR ikut melakukan pengujian terhadap para calon hakim agung, maka mereka tentu akan tersandera. Oleh karena itu, katanya, putusan MK tersebut sudah tepat.
    
"Lembaga hukum jangan dipilih DPR. Akhirnya hukum tersandera politik. Saya setuju," kata Marzuki, di Jakarta, belum lama ini. Dengan dihapuskannya kewenangan DPR untuk memilih, maka seleksi calon hakim agung akan lebih independen. Untuk itu,  seyogianya pengangkatan pimpinan/kepala atau perangkat lembaga hukum lainnya tidak melibatkan DPR dalam proses seleksinya.
    
Penyataan itu merupakan dukungan atas putusan MK terkait dengan uji materi UU Mahkamah Agung khususnya Pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan, calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama yang diusulkan oleh KY.
    
Oleh MK, pasal itu dibatalkan hingga menjadi  KY hanya cukup mengirimkan satu nama calon untuk satu kursi hakim agung. Dengan demikian, ak ada ruang dan tempat para anggota Dewan melakukan lobi dan transaksi karena DPR hanya punya mandat setuju atau tidak terhadap usul KY.
    
Perspektif hukumnya, jika kekuasan terakumulasi kedalam satu lembaga, maka cenderung akan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak terkait.
    
Dan perpektif hukum yang lebih subtantif adalah, adanya kemandirian dan independensi lembaga peradilan dari campur tangan politik hingga sesuai  amanat UUD 1945 Peradilan harus bebas dari intervensi eksekutif dan yudikatif.

     Jeblok

Putusan MK itu tentunya  terjadi karena mahkamah melihat fakta, betapa jebloknya kinerja orang--orang di DPR dan lembaga negara lainnya. Sebut saja, Anas Urbaningrum, Nazaruddin, Andi Malarangeng, Anggelina Sondakh, dan Lutfi Hasan Ishaaq, termasuk Akil Muhtar yang dulunya mantan anggota DPR. Para pejabat publik yang korup itu kata anggota DPR Budiman Sujatmiko, termasuk orang-orang yang mengkhianati  anak-anak Revolusi Reformasi. 
    
KPK lahir karena kondisi Indonesia sudah  pada titik nadir terendah adanya korupsi disemua lini, termasuk di jajaran   penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Untuk itu  KPK jangan dibiarkan sendiri  dan terseok-seok untuk  mencoba membangun cita-cita luhur bangsa ini.
    
KPK yakin, jika bangsa ini bebas dari korupsi,  maka tujuan para pendiri negeri ini untuk mewujudkan Indonesia, adil dan makmur, gemah ripah lohjinawi akan dapat terwujud. Itu sebabnya, banyak pihak yang menyambut positif adanya pemidanaan hukuman yang lebih keras terhadap para koruptor seperti yang dilakukan salah satu hakim agung Artidjo Alkostar.

     Jangan beralih

Adanya kado tahun baru untuk KY itu bukan tanpa resistensi. Anggota Komisi III DPR Ahmad Dimyati Natakusumah bereaksi cukup keras, karena kewenangannya untuk menguji calon hakim agung dicoret oleh MK. Keberatan itu terkait teknis pengusulan, jika KY hanya mengusulkan calon hakim sesuai dengan kursi yang kosong atau tidak memberi pilihan lain terhadap usulan KY maka apa yang akan terjadi.

Menurut Dimyati, kendati putusan MK bersifat final dan mengikat, kalau DPR itu hanya menyetujui, tetapi yang harus dipertimbangkan adalah ketika DPR tidak menyetujui calon hakim agung yang disodorkan, apakah justru tidak menjadi preseden dan menjadi polemik. Tidak segampang yang dipikirkan berbeda dengan memilih. DPR tidak bisa menolak, harus memilih yang disodorkan KY, kalau DPR tidak menyetujui terus apa yang disodorkan KY ini akan menjadi masalah baru, karena bisa saja DPR menolak usulan itu.

Masalah teknis tentu dapat diselesaikan oleh KY manakala usulannya tidak disetujui. Yang terpenting dalam menyikapi putusan  MK itu perlunya menghilangkan sandera politik dan menekan adanya peluang korupsi.

Itu sebabnya,  banyak pihak mewanti-wanti agar korupsi tidak beralih dari DPR ke KY dalam kaitan seleksi  calon hakim agung. Kewenangan itu diberikan agar KY dapat menyeleksi para calon hakim profesional dan punya integritas tinggi karena tidak tersandera oleh patron ppolitiik. Tentu akan beda dengan pilihan sebelumnya, dimana calon hakim yang dipilih dari dukungan partai politik sebisa mungkin akan membela kepentingan politik dimana orang tersebut diusungnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memangkas kewenangan memilih satu dari tiga calon hakim agung menjadi hakim agung bukan tanpa cela. Potensi suap justru bisa terjadi terhadap Komisi Yudisial (KY) sebagai pihak yang paling berwenang menyeleksi.

Dengan komposisi 1:1 (satu calon hakim agung untuk mengisi satu bangku hakim agung), artinya power KY bertambah besar. Yang perlu dijaga itu, jangan sampai, proses suap dan politik uang  yang diduga selama ini terjadi di DPR beralih ke KY, pesan Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil.

Agar korupsi tidak beralih ke KY, maka mekanisme perekrutan dan peningkatan pengawasan dalam perekrutan perlu ditingkatkan melalui kerja sama dengan pihak universitas, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga keagamaan, agar dapat menyampaikan rekam jejak calon hakim agung itu. Dengan begitu tatakala KY mengajukan ke DPR tak akan lagi ada penolakan alias tinggal ketok palu setuju.
   
Keduanya, pengajar FH Usahid, Jakarta.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2014