Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat Jakarta pasti pernah memperhatikan bangunan tua bergaya Cina kuno di sebelah kiri Jalan Gajah Mada Jakarta Pusat dari arah Monas yang kini masuk dalam komplek hunian dan komersial terpadu Green Central City.

Bangunan tua yang di kalangan masyarakat Cina di kawasan kota  mengenalnya dengan nama Candra Naya rencananya dalam waktu dekat sekitar Februari 2012 akan mulai dipugar serta akan menjadi bagian konsep pengembangan Green Central City yang di dalamnya akan dibangun apartemen, hotel, serta tempat gaya hidup.

Menurut pengajar arsitektur Universitas Tarumanegara Jakarta, Dr. Nanik Widayati, MT yang juga Ketua Pusat Arsitektur dan Konservasi, pembangunan Green Central City seharusnya juga memperhatikan simbol-simbol yang terdapat pada Candra Naya.

Agar bangunan tidak kehilangan rohnya maka harus memiliki budaya yang ada di tempat tersebut, kalau tidak nantinya hanyalah bangunan biasa tidak ada ciri-ciri yang dapat dibanggakan.

Nanik percaya kehadiran Candra Naya nantinya akan menginspirasi mereka yang menempati kota tua untuk tetap mempertahankan bangunan tua meskipun ekonomi berkembang pesat di kawasan itu.

Nanik mengatakan, konservasi tidak berarti membuat bangunan mati tidak memberi manfaat bagi pemiliknya, Victorian House di Australia salah satu contoh peninggalan sejarah sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi mereka yang menempatinya.

Bangunan kantor pos kuno di Singapura kini menjadi perkantoran tetapi tidak mengubah sama sekali bangunan asli meski lingkungan di sekitarnya berdiri bangunan modern, papar Nanik.

Nanik mengatakan, pemugaran Candra Naya memang membutuhkan pengetahuan mengenai budaya asli Cina yang masuk ke Indonesia untuk itu perlu melibatkan masyarakat Cina di Indonesia.

Green Central City sendiri melibatkan Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia dalam rangka merevitalisasi Candra Naya sehingga akan menjadi kesatuan dengan kawasan konservasi kota tua.

   
Budaya Cina

Chief Operating Officer Green Central City, Martono Hadipranoto kawasan Candra Naya nantinya akan diisi dengan brand tempat-tempat makan terkenal di Jakarta sehingga masyarakat dapat menikmati wisata kuliner sekaligus mempelajari budaya Cina.

Martono mengatakan, Candra Naya sejak awal memang menjadi magnet budaya Cina di kawasan Kota Jakarta Pusat, untuk itu pihaknya akan sangat berhati-hati dalam memelihara peninggalan kuno tersebut sebagai daya tarik wisatawan.

Kehadiran hotel di komplek Green Central City ditujukan banyaknya kunjungan ke kota tua baik untuk bisnis maupun wisata namun tidak semuanya dapat dilayani hotel-hotel yang ada di kawasan ini.

"Kalau hari biasa kunjungan hotel bisa mencapai 80 persen, namun Sabtu - Minggu bisa di atas itu sebagian pengunjung bertujuan untuk perdagangan dan bisnis yang memang sudah berlangsung sejak lama," kata  Martono.

Candra Naya sendiri kalau melihat bentuk bangunannya yang seperti tanduk menunjukkan sebagai rumah pejabat pada zaman Cina kuno yang bertugas memungut pajak, sehingga bangunan ini sejak awal memang menjadi panutan.

Candra Naya sendiri dibangun pada abad ke-19 ketika itu dihuni pejabat militer Cina yang diangkat Belanda untuk memungut pajak masyarakat Cina di kawasan Kota. Khouw Kim Am demikian nama pejabat itu dulunya memang menjadi tokoh panutan masyarakat Cina.

Martono mengatakan, Candra Naya pada era saat ini diharapkan sebagai wadah untuk melestarikan nilai budaya Cina sekaligus menjadi agenda penting kegiatan wisata.

Candra Naya sepenuhnya akan dibuka sebagai prasarana bagi komunitas Cina di Indonesia untuk menyelenggarakan berbagai event (agenda) budaya sebagai contoh pameran keramik, barang antik, musik, diskusi budaya, dan sebagainya.

Nanik lebih jauh mengatakan, kebijakan Pemprov DKI untuk melestarikan peninggalan sejarah dinilai terlambat banyak cagar budaya yang sudah berubah termasuk di kawasan Kota Tua.

Pemprov DKI Jakarta diminta untuk lebih tegas lagi melakukan penertiban sebenarnya tinggal ada kemauan untuk melestarikan bangunan peninggalan sejarah peraturan dan sanksinya sudah jelas mengatur hal itu.

   
Generasi ketinggalan

Ketua Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina), Joseph Aji Chen menjelaskan, komunitas didirikan bukan dalam upaya mengekslusifkan warga keturunan Cina, justru bertujuan melestarikan budaya Cina.

Dia mengatakan, banyak generasi Cina yang kini ketinggalan dalam mengadopsi budaya leluhurnya sehingga apa yang berkembang ssat ini menjadi salah kaprah.

Aspertina yang baru berdiri tahun 2011 beranggotakan tidak hanya masyarakat Cina, mereka yang bukan asal Cina juga dapat ikut menjadi anggota, karena tujuannya memang untuk melestarikan peninggalan budaya.

Yoseph Aji Chen sendiri lebih suka kalau dipanggil Aji, mengatakan, tradisi "Yee Sang" misalnya, tulisannya sama tetapi karena lafalnya berbeda membuat artinya berbeda.

Dia mengatakan, Yee Sang sendiri merupakan tradisi masakan kuno yang disajikan saat Imlek saja, merupakan masakan berbagai macam jenis sayuran yang kemudian dicampur sebelum dimakan, tradisi ini memperlambang persaudaraan.

Aji mengatakan, terdapat dua lafal yang membuat artinya berbeda, pertama ikan, serta kedua merupakan kemakmuran. Namun tidak ada yang salah terkait hal ini karena yang satu dibawa masyarakat Cina Mandarin serta satu lagi dibawa Cina Kanton.

Hal ini juga diakui artis dan selebriti warga keturunan, Ferry Salim yang mengatakan, generasi muda Cina saat ini hanya kelihatan di luar saja tetapi sama sekali tidak mengerti budaya asli mereka.

Ibarat orang sering menyebutkan sebagai casingnya saja (penutup) sedangkan mesinnya dalam artian bahasa, budaya, pergaulan sudah 100 persen Indonesia.

Dia menyambut baik kehadiran Candra Naya dan Aspertin karena akan menjadi wadah melestarikan budaya Cina kalau terlambat mengantisipasi akan punah dan dilupakan.


 

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2012