Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Berly Martawardaya mengatakan pengenaan pajak karbon sebaiknya memilih waktu (timing) yang tepat mengingat kondisi ekonomi yang masih tertekan akibat pandemi.
Selain itu, penerapannya juga membutuhkan waktu satu sampai dua tahun untuk persiapan dan transisi, jelas Berly di Jakarta, Minggu.
Dalam draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah berencana mengenakan pajak karbon kepada wajib pajak orang pribadi dan badan atas emisi karbon dengan besaran tarif minimal Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Dikutip dari draf RUU tersebut, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
"Pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu atau pada saat lain," tulis Pasal 44G ayat (4) dalam draft revisi RUU KUP yang beredar.
"Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," seperti dikutip Pasal 44G ayat (5).
Namun yang harus menjadi pertimbangan adalah kondisi saat ini industri masih belum pulih akibat dampak pandemi ini. Misalnya, industri semen selama setahun terpukul dengan pertumbuhan minus di 2020. Belum lagi dengan tambahan beban kenaikan bahan bakar. Dari sisi suplly semen domestik juga over. Ada kelebihan pasokan semen di dalam negeri hingga 50 juta ton per tahun.
"Karenanya perlu bijak dalam mengambil keputusan," ujarnya.
Berly mengatakan, pemberlakuan pajak atau cukai karbon memang menjadi peran aktif Indonesia dalam mengurangi emisi karbon, sebagai negara besar dan berperan dalam ketertiban dan kedamaian dunia. Indonesia juga termasuk negara yang akan terdampak besar kalau terjadi krisis iklim.
"Transisi ke green economy dan low carbon development juga melindungi masa depan Indonesia. Namanya perubahan jarang mudah, tapi bisa dicapai dengan perencanaan dan langkah-langkah yang matang," ucap dia.
Dia menyebut, secara prinsip industri memang perlu menjaga dampak lingkungan operasinya. Dengan adanya pajak karbon, maka industri akan terdorong untuk mengurangi karbon yang dihasilkan dari operasinya.
"Namun, timingnya yang perlu diperhatikan. Saya pikir perlu 1-2 tahun untuk persiapan dan transisi, jadi jangan mulai tahun ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
Selain itu, penerapannya juga membutuhkan waktu satu sampai dua tahun untuk persiapan dan transisi, jelas Berly di Jakarta, Minggu.
Dalam draf Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah berencana mengenakan pajak karbon kepada wajib pajak orang pribadi dan badan atas emisi karbon dengan besaran tarif minimal Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Dikutip dari draf RUU tersebut, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
"Pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu atau pada saat lain," tulis Pasal 44G ayat (4) dalam draft revisi RUU KUP yang beredar.
"Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," seperti dikutip Pasal 44G ayat (5).
Namun yang harus menjadi pertimbangan adalah kondisi saat ini industri masih belum pulih akibat dampak pandemi ini. Misalnya, industri semen selama setahun terpukul dengan pertumbuhan minus di 2020. Belum lagi dengan tambahan beban kenaikan bahan bakar. Dari sisi suplly semen domestik juga over. Ada kelebihan pasokan semen di dalam negeri hingga 50 juta ton per tahun.
"Karenanya perlu bijak dalam mengambil keputusan," ujarnya.
Berly mengatakan, pemberlakuan pajak atau cukai karbon memang menjadi peran aktif Indonesia dalam mengurangi emisi karbon, sebagai negara besar dan berperan dalam ketertiban dan kedamaian dunia. Indonesia juga termasuk negara yang akan terdampak besar kalau terjadi krisis iklim.
"Transisi ke green economy dan low carbon development juga melindungi masa depan Indonesia. Namanya perubahan jarang mudah, tapi bisa dicapai dengan perencanaan dan langkah-langkah yang matang," ucap dia.
Dia menyebut, secara prinsip industri memang perlu menjaga dampak lingkungan operasinya. Dengan adanya pajak karbon, maka industri akan terdorong untuk mengurangi karbon yang dihasilkan dari operasinya.
"Namun, timingnya yang perlu diperhatikan. Saya pikir perlu 1-2 tahun untuk persiapan dan transisi, jadi jangan mulai tahun ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021