Nucleus Farma (PT Natura Nuswantara Nirmala) berkomitmen mengembangkan obat tradisional Indonesia menggunakan teknologi modern sehingga menghasilkan obat herbal alami yang aman, berkhasiat, dan bermutu.

Pada bulan Maret lalu, Nucleus Farma berpartisipasi dalam berbagai kegiatan untuk mendukung kemajuan obat natural dan suplemen kesehatan. Keikutsertaan Nucleus Farma membuktikan perusahaan ini terbuka untuk berkolaborasi dengan pemerintah, akademisi, komunitas dan media. 

Dalam keterangan tertulis, Selasa,  Nucleus Farma telah menjalin riset kerjasama dan mewujudkan triple helix melalui sinergi antara pemerintah, akademisi, maupun praktisi. Upaya tersebut dibuktikan dengan keterlibatan perusahaan dalam riset obat antikanker ovarium yang sangat bermanfaat di Indonesia. 

Belum lama ini, tim Nucleus Farma dan dr. Manuel Hutapea,Sp.OG.(K) Onk. mengunjungi LIPI Kimia Serpong untuk membahas kerja sama penelitian obat kanker dari bahan alam. dr. Manuel Hutapea,Sp.OG.(K) Onk  adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan onkologi di RS Mitra Medika Pontianak.

Sebelumnya sudah dilakukan uji pendahuluan dan akan dilanjutkan riset yang lebih komprehensif. Nucleus Farma disambut baik oleh tim peneliti dan menjadi mitra perusahaan yang sangat mendukung inovasi, riset, dan penelitian guna pengembangan obat tradisional di Indonesia.

Lantas dalam pengembangan obat-obatan tradisional Indonesia, Nucleus Farma hadir dalam berbagai kegiatan ilmiah. Kegiatan pertama yakni webinar dengan topik "Peran Jamu sebagai Imun Booster di Era Pandemik", Selasa (23/3). Seminar ini diselenggarakan oleh Krista Exhibitions dan GP Jamu. Webinar ini menghadirkan narasumber: Dr. Resna Murti WibowoSp.PD. FINASIM, M.Kes., Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia ( PDHMI), dan Dr. dr. Robert Arjuna, FEAS dari Owner Clinic Sayang Diagnostics Center.
 
Edward Basilianus, S.E, M.M, CEO Nucleus Farma yang juga merupakan salah satu pengurus GP Jamu Pusat menjadi moderator dalam acara tersebut. Dr. dr. Robert Arjuna, FEAS membawakan materi mengenai produk Nucleus Farma yakni Rafa Khomsah dan Onoiwa, yang dapat digunakan sebagai suplemen herbal yang berkhasiat untuk menjaga daya tahan tubuh di masa pandemi COVID-19.
 
Kegiatan kedua seminar dengan topik "Manfaat Intervensi Oral Albumin Terhadap Status Nutrisi Pasien Gagal Ginjal Kronis, pada Jumat (26/3). Seminar menghadirkan pembicara Prof Dr. dr. Haerani Rasyid, Sp.PD. KGH, Sp.GK dengan Moderator Dr.dr. Andi Makbul Aman, Sp.PD KEMD. Pada kesempatan tersebut antara lain dibahas tentang manfaat albumin yang terkandung dalam Onoiwa, salah satu produk dari Nucleus Farma.

Penyakit ginjal kronis (PGK) atau gagal ginjal kronis (GGK) adalah kondisi saat fungsi ginjal menurun secara bertahap karena kerusakan ginjal. Secara medis, gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai penurunan laju penyaringan atau filtrasi ginjal selama 3 bulan atau lebih. 

Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Penggunaan albumin direkomendasikan karena merupakan indikator yang baik digunakan untuk menilai status gizi penderita dengan hemodialisis serta dapat mengganti nutrisi yang hilang. 

Onoiwa sendiri merupakan sediaan oral albumin yang terbuat dari ekstrak ikan gabus dan memiliki kandungan aktif yang dapat membantu pasien gagal ginjal.
 
Kegiatan ketiga adalah PIKTI National E-Seminar (Series 36)  dengan topik  "The Secret of Indonesian Herbal (Jamu) for Good Health", pada 28 Maret 2021. Acara ini dihadiri oleh berbagai pakar di bidangnya. Acara ini diawali dengan sambutan dari Ketua Umum GP Jamu Dwi Ranny Pertiwi Zarman, S.E., M.H. dan Ketua PIKTI Dr.dr. Eka Wahyu Kasih, S.H, M.H, S.E, M.M, S.Pd, M.Pd. Keynote Speaker dari Ketua Badan POM RI diwakili oleh Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si. 

Pada kesempatan ini CEO Nucleus Farma, Edward Basilianus berkesempatan menjadi salah satu pembicara. Edward Basilianus menyampaikan materi bertema "Peluang Industri Herbal di Era Pandemi". 

Edward Basilianus menyampaikan, bahwa biodiversitas tanaman obat yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan produk berbahan herbal yang semakin meningkat. 

"Jika ini bisa dilakukan dengan optimal akan berdampak positif pada perekonomian nasional dan mendukung kemandirian industri obat berbahan herbal," katanya.

Edward Basilianus juga melihat tren penggunaan bahan alam, khususnya obat tradisional di masa pandemi COVID-19 merupakan momentum emas bagi masyarakat untuk kembali mencari dan menggunakan rempah-rempah asli Indonesia. 

"Hal ini juga menjadi peluang bagi para peneliti untuk dapat mengembangkan hasil risetnya serta memacu para produsen untuk lebih fokus mengembangkan produk berbasis herbal," kata Edward Basilianus.

Ketua Umum GP Jamu, Dwi Ranny Pertiwi Zarman, mengatakan pengobatan tradisional Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan ramuan jamu. 

"Jamu di Indonesia sudah ada sejak tahun 1300 dan merupakan minuman bersejarah dengan berbagai khasiat untuk menjaga kesehatan, bahkan menyembuhkan berbagai penyakit," jelas Dra. Reri.

Lebih jauh Dwi Ranny mengatakan, pengobatan tradisional sudah diakui oleh WHO, badan kesehatan PBB. WHO menunjukkan kepedulian terhadap pengembangan obat tradisional dengan mengeluarkan buku panduan Metodologi Penelitian dan Evaluasi terhadap pengobatan tradisional.

Jenis pengobatan alternatif dikelompokkan menjadi dua, yakni pengobatan berdasarkan herbal dan terapi yang berdasarkan prosedur tradisional. 

"Yang termasuk pengobatan alternatif herbal yaitu penggunaan bahan asli tanaman seperti bunga, buah-buahan, akar, daun dan lain-lain dan saat ini bertambah dari sumber hewani," tutur Dwi Ranny.

Sementara itu,  Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si, menyoroti melimpahnya keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Indonesia, kata Reri Indriani, memiliki sekitar 30 ribu jenis tanaman, dimana sekitar 800 diantaranya berpotensi untuk dijadikan obat herbal. 

Sejalan dengan Inpres no.6 tahun 2016 tentang Percepatan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Badan POM menginisasi pembentukan Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka. Ada 14 lembaga yang terlibat dalam Satgas ini, terdiri dari Kementerian, asosiasi pelaku usaha, organisasi profesi, dan perguruan tinggi.

"Dengan terbentuknya Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka diharapkan dapat meningkatkan intensifikasi hilirisasi penelitian obat berbahan alam untuk menjadi Fitofarmaka, sehingga akses dan ketersediaan obat produksi nasional akan meningkat. Ke depannya, produk Fitofarmaka juga diharapkan dapat berperan sebagai produk pengobatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN," papar Reri Indriani.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021