Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte mengajukan banding atas vonis majelis hakim dan mengaku lebih baik mati dibanding mendapat hukuman.

"Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita dari Juni tahun lalu sampai hari ini, saya lebih baik mati daripada martabat keluarga saya dilecehkan seperti ini," kata Napoleon, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Baca juga: Irjen Napoleon: Apa perlu saya goyang "TikTok"

Dalam perkara ini, Napoleon divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan, karena menerima suap 370 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp7,23 miliar) dari Djoko Tjandra.

"Saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding," ujar Napoleon menegaskan, sambil berdiri.

Napoleon terbukti melakukan perbuatan seperti dalam dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dalam perkara ini, Napoleon Bonaparte terbukti menerima suap 370 ribu dolar AS (sekitar Rp5,137 miliar) dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari terpidana kasus korupsi "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi, agar Napoleon Bonaparte membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Penyerahan uang dilakukan dalam beberapa tahap kepada Napoleon melalui perantaraan Tommy Sumardi, yaitu:
1. Pada 28 April 2020, Tommy Sumardi memberikan uang 200 ribu dolar Singapura kepada Napoleon, ditambah 50 ribu dolar AS yang sempat ditolak Napoleon pada 27 April 2020.
2. Pada 29 April 2020, Tommy memberikan 100 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte.
4. Pada 4 Mei 2020, Tommy memberikan 150 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte.
5. Pada 5 Mei 2020, Tommy memberikan 70 ribu dolar AS kepada Napoleon Bonaparte.

Uang itu berasal dari Djoko Tjandra yang diberikan melalui sekretarisnya bernama Nurmawan Fransisca dan Nurdin, dengan rincian:
1. Pada 27 April 2020, Tommy mendapat 100 ribu dolar AS.
2. Pada 28 April 2020, Tommy mendapat 200 ribu dolar Singapura.
3. Pada 29 April 2020, Tommy mendapat 100 ribu dolar Singapura.
4. Pada 4 Mei 2020, Tommy mendapat 150 ribu dolar AS.
5. Pada 5 Mei 2020, Tommy mendapat 20 ribu dolar AS.
6. Pada 12 Mei 2020, Tommy mendapat 100 ribu dolar AS.
7. Pada 22 Mei 2020, Tommy mendapat 50 ribu dolar AS.

Irjen Napoleon memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI pada 4 Mei 2020 perihal Pembaharuan Data Interpol Notices yang atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi. Isi surat pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol "red notice".

Selanjutnya pada 5 Mei 2020, Irjen Napoleon kembali memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor: B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 5 Mei 2020 perihal Penyampaian Penghapusan Interpol Red Notices yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang menyampaikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra Control No: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 atau setelah 5 tahun.

"Terdakwa terbukti menerima sesuatu, yaitu uang 370 ribu dolar AS dan sejumlah 200 ribu dolar Singapura dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi dan Prasetijo Utomo telah menerima 100 ribu dolar AS, dengan tujuan agar terdakwa dapat memberikan informasi mengenai status interpol 'red notice' atas nama Djoko Tjandra dan menyurati Dirjen Imigrasi agar status Djoko Tjandra bisa dihapus dalam SIM KIM Ditjen Imigrasi," kata anggota majelis hakim Saifuddin Zuhri.

Sedangkan JPU Kejaksaan Agung menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021