DPP Partai Berkarya menolak rencana ambang batas parlemen (parliamentary threshold) menjadi 5 persen dari sebelumnya 4 persen pada usulan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
 
"Menolak rumusan perubahan UU tersebut, utamanya pasal yang mengatur tentang parliamentary threshold (PT) berjenjang 5 persen (pusat), 4 persen (provinsi), 3 persen (kabupaten/kota) suara nasional, pengecilan jumlah kursim dan perbanyakan jumlah dapil," kata Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Wakil Ketum PAN nilai stabilitas pemerintahan bukan didasarkan jumlah parpol
 
Menurut dia, perubahan dan evaluasi UU Pemilu sebaiknya dilakukan lima sekali dalam lima kali pemilu berturut-turut (25 tahun).
 
Hal itu lantaran UU Pemilu dibuat untuk jangka panjang, bukan untuk jangka pendek, bukan pula untuk kepentingan partai-partai tertentu.
 
"Kalau memang terpaksa harus diubah, pasal-pasal yang mengebiri partai-partai baru dan partai kecil ditiadakan," kata Badaruddin.
 
Ia berharap partai-partai yang terbukti melakukan korupsi, terutama kadernya yang menjadi tahanan KPK, agar didiskualifikasi pada daerah pemilihannya.
 
"Partainya tidak diikutkan di dapil atau daerah asal sang koruptor atau partainya tidak diikutkan pemilu, minimal satu kali pemilu," ujarnya.
 
Partai Berkarya juga meminta kepada pemerintah dan DPR RI agar pembahasan perubahan UU Pemilu ditangguhkan dan fokus pada permasalahan yang mendesak, seperti penanganan pandemi COVID-19, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
 
Namun, lanjut dia, bila tetap dibahas, pemerintah dan DPR bisa mendengar dan menerima masukan dari semua yang berkepentingan dalam UU Pemilu tersebut.
 
"Melibatkan partai-partai nonparlemen bila pembahasan berlanjut, serta mengutamakan demokrasi yang memihak kepada rakyat dalam bingkai NKRI," kata Badaruddin.
 

Pewarta: Syaiful Hakim

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021