Pengamat ekologi kawasan pertanian Arya Hadi Dharmawan menilai adanya UU Cipta Kerja dapat mengendalikan perubahan fungsi ruang karena memberikan sanksi yang lebih tegas kepada oknum korporasi.
"Isinya berubah. Ada poin yang menggembirakan. Ancaman negara kepada para pelanggar tata ruang menguat secara signifikan," kata Arya dalam pernyataan di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Wapres: Jika keberatan UU Cipta Kerja, jangan buat kegaduhan
Arya menjelaskan selama ini persoalan besar tata ruang di Indonesia selama puluhan tahun adalah perubahan fungsi ruang yang dilakukan perusahaan atau individu secara tidak terkendali.
"Tanah negara sering diserobot untuk peruntukan yang tak sesuai oleh oknum perusahaan maupun individu. Akibatnya ekosistem atau lingkungan hidup terganggu atau rusak sama sekali," katanya.
Padahal, menurut peneliti senior ekologi politik IPB ini, ancaman hukum terhadap pelanggaran tata ruang tersebut sudah diatur dalam pasal 69 UU Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang.
Meski demikian, ia mengakui jumlah denda yang diatur dalam regulasi tersebut sangat kecil, sehingga tidak memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggaran hukum.
Untuk itu, Arya memberikan apresiasi karena pemerintah bersikap lebih responsif atas penyerobotan lahan dengan memberikan ketegasan kepada perusahaan atau individu yang melakukan perubahan fungsi ruang atau peruntukan tanah secara semaunya.
"Angka ancaman penalti bagi para pelanggar tata ruang, yang berlipat-kali pada UU Cipta Kerja dibandingkan UU Penataan Ruang, memberikan makna bahwa negara makin tidak kompromi terhadap para pelanggar tanah atau tata ruang," ujarnya.
Di sisi lain, Arya menghargai pihak-pihak yang masih cenderung mendukung UU Nomor 26 Tahun 2017 ketimbang UU Cipta Kerja. Namun, ia menilai UU Cipta Kerja lebih unggul dari sisi ketegasan terhadap tata ruang.
"UU Cipta Kerja menunjukkan niat yang lebih baik atau lebih kuat dalam menjaga kepastian tata ruang di negeri ini. UU ini menginginkan bahwa negeri ini lebih konsisten, disiplin, dan menegakkan hukum secara lebih tegas dalam soal tata ruang," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Isinya berubah. Ada poin yang menggembirakan. Ancaman negara kepada para pelanggar tata ruang menguat secara signifikan," kata Arya dalam pernyataan di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Wapres: Jika keberatan UU Cipta Kerja, jangan buat kegaduhan
Arya menjelaskan selama ini persoalan besar tata ruang di Indonesia selama puluhan tahun adalah perubahan fungsi ruang yang dilakukan perusahaan atau individu secara tidak terkendali.
"Tanah negara sering diserobot untuk peruntukan yang tak sesuai oleh oknum perusahaan maupun individu. Akibatnya ekosistem atau lingkungan hidup terganggu atau rusak sama sekali," katanya.
Padahal, menurut peneliti senior ekologi politik IPB ini, ancaman hukum terhadap pelanggaran tata ruang tersebut sudah diatur dalam pasal 69 UU Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang.
Meski demikian, ia mengakui jumlah denda yang diatur dalam regulasi tersebut sangat kecil, sehingga tidak memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggaran hukum.
Untuk itu, Arya memberikan apresiasi karena pemerintah bersikap lebih responsif atas penyerobotan lahan dengan memberikan ketegasan kepada perusahaan atau individu yang melakukan perubahan fungsi ruang atau peruntukan tanah secara semaunya.
"Angka ancaman penalti bagi para pelanggar tata ruang, yang berlipat-kali pada UU Cipta Kerja dibandingkan UU Penataan Ruang, memberikan makna bahwa negara makin tidak kompromi terhadap para pelanggar tanah atau tata ruang," ujarnya.
Di sisi lain, Arya menghargai pihak-pihak yang masih cenderung mendukung UU Nomor 26 Tahun 2017 ketimbang UU Cipta Kerja. Namun, ia menilai UU Cipta Kerja lebih unggul dari sisi ketegasan terhadap tata ruang.
"UU Cipta Kerja menunjukkan niat yang lebih baik atau lebih kuat dalam menjaga kepastian tata ruang di negeri ini. UU ini menginginkan bahwa negeri ini lebih konsisten, disiplin, dan menegakkan hukum secara lebih tegas dalam soal tata ruang," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020