Amelia Hapsari, Direktur Program lembaga nirlaba dokumenter In-Docs, terpilih menjadi anggota Academy of Motion Picture Arts and Sciences yang menyelenggarakan Piala Oscar.
Kiprahnya di In-Docs, yang aktif menyelenggarakan forum lokakarya bersama mentor internasional dan pembuat film dokumenter Asia Tenggara, membuka jalannya menjadi juri Piala Oscar.
In-Docs, didukung Badan Ekonomi Kreatif sejak 2017, menggelar forum global penghubung pembuat film dokumenter Indonesia dan Asia Tenggara dengan industri dan investor film internasional dalam Docs By The Sea.
Dalam forum tersebut, proyek film dokumenter dipresentasikan kepada lembaga donor, jaringan televisi, distributor dan platform dunia yang butuh film dokumenter.
Diharapkan, pengambil keputusan dari institusi bergengsi bisa menemukan film dari Asia Tenggara untuk memperkaya tayangan dokumenter di platform mereka dengan talenta dan perspektif segar.
Kinerja Amelia di In-Docs membuat anggota Akademi yang masuk dalam jaringan industri film dokumenter dunia merekomendasikannya untuk jadi bagian Academy of Motion Pictures Arts and Sciences.
"Karena saya direktur In-Docs, mereka melihat kerja saya untuk membawa film-film dokumenter Asia ke dunia. Mereka merasa orang-orang seperti ini harus masuk Academy karena bisa membawa keberagaman di kompetisi Oscar," ujar Amelia kepada ANTARA, Jumat.
"Di kalangan industri dokumenter internasional sendiri, ada banyak orang progresif yang merasa kita harus bawa suara-suara dari dunia ketiga ke taraf internasional," lanjut dia.
Momen ini terasa pas. Di saat Amelia dan rekan-rekannya berusaha agar film dokumenter Indonesia dan Asia Tenggara dapat menjangkau lebih luas, dunia internasional pun sedang memperbaiki diri untuk meningkatkan keragaman.
Amelia baru mengetahui dirinya menjadi bagian dari Academy of Motion Picture Arts and Sciences dari orang yang merekomendasikannya. Dia tak tahu profil yang diminta oleh rekannya beberapa waktu lalu ternyata digunakan untuk rekomendasi masuk Academy.
"Orang yang rekomendasikan saya juga baru kirim email sesudah ada pengumuman, dia bilang, 'hahaha, kamu enggak tahu ya kenapa waktu itu aku minta profil sama CV kamu'. Saya enggak tahu", kata Amelia kemudian tertawa.
Baginya, ini adalah sebuah kehormatan. Tapi masih terlalu dini untuk terlalu berbangga hati. Perasaannya campur aduk. Sebab, perjalanan film dokumenter untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun masih cukup panjang.
Amelia ingin mengirimkan pesan kepada penonton dan pemangku kepentingan baik itu pemerintah hingga platform video on demand bahwa anggapan film dokumenter tidak bernilai itu salah besar.
"Amat ironis karena sebetulnya di dunia internasional itu mereka punya industri, para pembuat filmnya juga bisa hidup dengan film dokumenter, tidak dianggap nonprofesional, 'oh kamu pembuat film dokumenter' seakan-akan itu sampingan, hanya hobi."
Dalam beberapa tahun terakhir, Amelia menilai ada beberapa talenta film dokumenter Indonesia yang bisa berkembang dan diterima di kancah mancanegara meski jumlahnya masih terlalu sedikit.
"Masih harus lebih banyak lagi, dukungan dan ekosistem harus lebih terbangun," kata dia.
Hadirnya Amelia sebagai bagian Academy takkan serta merta menjamin film Indonesia bisa masuk ke ajang bergengsi dalam waktu dekat.
Namun, pastinya dia akan menggunakan suaranya untuk memilih film yang betul-betul layak agar bisa masuk ke ajang kompetisi dan menang.
"Saya harap kemudian saya bisa menggarisbawahi film yang sebetulnya memperjuangkan dan memperlihatkan keberagaman berekspresi," katanya.
Daya tarik dokumenter
Lulusan Ohio University yang pernah menjadi jurnalis radio di China dan bekerja di rumah produksi nirlaba Timor Leste menuturkan daya tarik film dokumenter.
Film dokumenter bisa membuat penonton masuk ke realitas yang disampaikan oleh sineas.
"Meskipun realitas itu kompleks, kita bisa ikut merasakannya, membawa kita ke perspektif baru."
Menurut dia, film dokumenter adalah medium kuat dan penting untuk membuat masyarakat semakin kritis serta bercermin terhadap apa yang terjadi.
Sederet film telah ia buat, diantaranya "The Heroes and The Land" (2001), "Sharing Paradise" (2005), "Weaving Stories" (2010), "The Youth Parliament" (2011), "Jadi Jagoan ala Ahok" (2012) dan "Akar" (2013).
Dia juga menjadi produser "Rising from Silence" yang meraih Piala Citra untuk kategori film dokumenter pendek terbaik 2018.
"Sejak 2015 saya cukup jarang bikin film karena tugas di In-Docs untuk menjadikan platform (film dokumenter), tugas saya enggak bikin film, tapi bikin ekosistem biar film-film ini semakin terhubung, semakin berdampak," kata Amelia yang saat ini ingin fokus membuat ekosistem film dokumenter semakin kondusif.
Baru-baru ini, pandemi COVID-19 membuat dia menggelar program IF/Then, lokakarya dan forum pitching bersama Tribeca Film Institute secara virtual.
Di satu sisi, makin banyak orang yang bisa hadir karena tidak terkendala jarak. Di sisi lain, interaksi untuk membangun jejaring dan saling bertukar pikiran tidak bisa seluwes bertemu secara tatap mata.
"Paling enggak tetap ada, kalau dibatalkan sama sekali, banyak promosi film-film jadi batal dan membuat orang lebih banyak merugi," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
Kiprahnya di In-Docs, yang aktif menyelenggarakan forum lokakarya bersama mentor internasional dan pembuat film dokumenter Asia Tenggara, membuka jalannya menjadi juri Piala Oscar.
In-Docs, didukung Badan Ekonomi Kreatif sejak 2017, menggelar forum global penghubung pembuat film dokumenter Indonesia dan Asia Tenggara dengan industri dan investor film internasional dalam Docs By The Sea.
Dalam forum tersebut, proyek film dokumenter dipresentasikan kepada lembaga donor, jaringan televisi, distributor dan platform dunia yang butuh film dokumenter.
Diharapkan, pengambil keputusan dari institusi bergengsi bisa menemukan film dari Asia Tenggara untuk memperkaya tayangan dokumenter di platform mereka dengan talenta dan perspektif segar.
Kinerja Amelia di In-Docs membuat anggota Akademi yang masuk dalam jaringan industri film dokumenter dunia merekomendasikannya untuk jadi bagian Academy of Motion Pictures Arts and Sciences.
"Karena saya direktur In-Docs, mereka melihat kerja saya untuk membawa film-film dokumenter Asia ke dunia. Mereka merasa orang-orang seperti ini harus masuk Academy karena bisa membawa keberagaman di kompetisi Oscar," ujar Amelia kepada ANTARA, Jumat.
"Di kalangan industri dokumenter internasional sendiri, ada banyak orang progresif yang merasa kita harus bawa suara-suara dari dunia ketiga ke taraf internasional," lanjut dia.
Momen ini terasa pas. Di saat Amelia dan rekan-rekannya berusaha agar film dokumenter Indonesia dan Asia Tenggara dapat menjangkau lebih luas, dunia internasional pun sedang memperbaiki diri untuk meningkatkan keragaman.
Amelia baru mengetahui dirinya menjadi bagian dari Academy of Motion Picture Arts and Sciences dari orang yang merekomendasikannya. Dia tak tahu profil yang diminta oleh rekannya beberapa waktu lalu ternyata digunakan untuk rekomendasi masuk Academy.
"Orang yang rekomendasikan saya juga baru kirim email sesudah ada pengumuman, dia bilang, 'hahaha, kamu enggak tahu ya kenapa waktu itu aku minta profil sama CV kamu'. Saya enggak tahu", kata Amelia kemudian tertawa.
Baginya, ini adalah sebuah kehormatan. Tapi masih terlalu dini untuk terlalu berbangga hati. Perasaannya campur aduk. Sebab, perjalanan film dokumenter untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun masih cukup panjang.
Amelia ingin mengirimkan pesan kepada penonton dan pemangku kepentingan baik itu pemerintah hingga platform video on demand bahwa anggapan film dokumenter tidak bernilai itu salah besar.
"Amat ironis karena sebetulnya di dunia internasional itu mereka punya industri, para pembuat filmnya juga bisa hidup dengan film dokumenter, tidak dianggap nonprofesional, 'oh kamu pembuat film dokumenter' seakan-akan itu sampingan, hanya hobi."
Dalam beberapa tahun terakhir, Amelia menilai ada beberapa talenta film dokumenter Indonesia yang bisa berkembang dan diterima di kancah mancanegara meski jumlahnya masih terlalu sedikit.
"Masih harus lebih banyak lagi, dukungan dan ekosistem harus lebih terbangun," kata dia.
Hadirnya Amelia sebagai bagian Academy takkan serta merta menjamin film Indonesia bisa masuk ke ajang bergengsi dalam waktu dekat.
Namun, pastinya dia akan menggunakan suaranya untuk memilih film yang betul-betul layak agar bisa masuk ke ajang kompetisi dan menang.
"Saya harap kemudian saya bisa menggarisbawahi film yang sebetulnya memperjuangkan dan memperlihatkan keberagaman berekspresi," katanya.
Daya tarik dokumenter
Lulusan Ohio University yang pernah menjadi jurnalis radio di China dan bekerja di rumah produksi nirlaba Timor Leste menuturkan daya tarik film dokumenter.
Film dokumenter bisa membuat penonton masuk ke realitas yang disampaikan oleh sineas.
"Meskipun realitas itu kompleks, kita bisa ikut merasakannya, membawa kita ke perspektif baru."
Menurut dia, film dokumenter adalah medium kuat dan penting untuk membuat masyarakat semakin kritis serta bercermin terhadap apa yang terjadi.
Sederet film telah ia buat, diantaranya "The Heroes and The Land" (2001), "Sharing Paradise" (2005), "Weaving Stories" (2010), "The Youth Parliament" (2011), "Jadi Jagoan ala Ahok" (2012) dan "Akar" (2013).
Dia juga menjadi produser "Rising from Silence" yang meraih Piala Citra untuk kategori film dokumenter pendek terbaik 2018.
"Sejak 2015 saya cukup jarang bikin film karena tugas di In-Docs untuk menjadikan platform (film dokumenter), tugas saya enggak bikin film, tapi bikin ekosistem biar film-film ini semakin terhubung, semakin berdampak," kata Amelia yang saat ini ingin fokus membuat ekosistem film dokumenter semakin kondusif.
Baru-baru ini, pandemi COVID-19 membuat dia menggelar program IF/Then, lokakarya dan forum pitching bersama Tribeca Film Institute secara virtual.
Di satu sisi, makin banyak orang yang bisa hadir karena tidak terkendala jarak. Di sisi lain, interaksi untuk membangun jejaring dan saling bertukar pikiran tidak bisa seluwes bertemu secara tatap mata.
"Paling enggak tetap ada, kalau dibatalkan sama sekali, banyak promosi film-film jadi batal dan membuat orang lebih banyak merugi," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020