United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam publikasi tahunannya, Review of Maritime Transport 2019, mencatat bahwa digitalisasi dan otomatisasi tengah mentransformasi sektor pelayaran global.
       
Konsekuensinya, dibutuhkan adanya keterampilan dan pendekatan baru bagi para pelaku dan pemangku kepentingan agar bisa berselancar dengan sukses di tengah gelombang transformasi yang tengah pasang naik. 
       
Dengan adanya digitalisasi dan otomatisasi, memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Thing (IoT), maka kapal-kapal kini sudah bisa dioperasikan tanpa awak. 
       
Sejauh ini, autonomous ship, begitu istilah dalam khazanah pelayaran untuk kapal tanpa awak itu, memang baru sebatas diujicobakan. Namun, dapat dipastikan tak lama lagi “kapal cerdas” tersebut bisa melayari samudra luas di delapan penjuru mata angin.
       
Karakter state of the art tidak hanya dimiliki autonomous ship yang merupakan kapal masa depan. Kapal-kapal lain, khususnya yang dibangun dalam kurun 10-15 tahun belakangan juga terbilang canggih karena sudah pula dilengkapi AI dan IoT. 
       
Dari sisi bahan bakar, kapal-kapal ini mengkonsumsi bahan bakar yang tergolong canggih, yaitu Liquefied Natural Gas (LNG). Paling tidak, BBM berkadar belerang/sulfur rendah.
       
Transformasi yang berlangsung dalam sektor pelayaran tadi memberikan dampak yang luar biasa terhadap sektor kepelabuhanan. Ini konsekuensi logis karena eksistensi pelabuhan sejak awal memang didedikasikan untuk mendukung pelayaran (baca: kapal). 
       
Kapal-kapal canggih menyulitkan operator pelabuhan dalam melayani mereka karena fasilitas di dermaga tidak sebanding. Waktu kapal di dermaga jelas menjadi lebih lama. Pelayaran akhirnya merogoh kocek lebih dalam karena harus mengeluarkan port dues lebih dari biasanya.
       
Tak ada pilihan bagi pengelola pelabuhan selain ikut mentransformasi dirinya agar sejajar dengan pelayaran yang sudah canggih itu. Langkah ini perlu diadopsi karena sektor pelayaran selain makin canggih juga diprediksi oleh lembaga PBB di muka akan bertumbuh dengan laju pertumbuhan 3,4 persen dalam lima tahun ke depan.
       
Kini di seluruh pelabuhan luar negeri dan domestik terlihat proyek-proyek digitalisasi dan otomatisasi digeber oleh operatornya. Pelayanan sandar kapal misalnya, sudah bisa dipesan melalui online sehingga turn round time (TRT) kapal bisa ditekan. TRT adalah waktu yang dibutuhkan kapal sejak kedatangan, bongkar muat barang, hingga kembali berlayar.
       
Transformasi yang dilakukan di pelabuhan ditujukan untuk menjadikannya smart port. Apa pula ini barang? Banyak definisi smart port, tetapi untuk memudahkan saya kutip definisi dari Dr. Vijay Sakhuja, ahli strategi kemaritiman asal India. Menurutnya, “Smart Port uses automation and innovative technologies including Artificial Intelligence (AI), big data, Internet of Things (IoT) and Blockchain to improve its performance.”
       
Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah penerapan konsep smart port di Indonesia? Sampai pada level mana ia diterapkan? Seperti apa percikannya yang bisa dilihat saat ini?
       
Rada sulit melacak kapan penerapan smart port di Indonesia pertama kali diperkenalkan. Bila peluncuran National Single Window (pada 2007) sebagai awalnya, maka sudah 13 tahun kita ber-smart port ria. 

Negeri jiran Singapura punya sistem yang sama, Tradenet namanya, dan diluncurkan pada 2000. Singkat cerita, Indonesia boleh dibilang pemula. Jadi wajar masih terdapat kekurangan di sana-sini. 
       
Sering terjadi, kendati sudah online, proses penyandaran kapal di sebuah pelabuhan yang sudah menerapkan Inaportnet (sistem yang dikembangkan oleh Kementerian Perhubungan) tetap memerlukan tatap muka untuk membahas rencana kedatangan kapal dengan melibatkan Syahbandar, karantina dan sebagainya. 
       
Sementara itu penerapan Indonesia National Single Window, upgrading-nya NSW, masih dihadapkan pada kenyataan tidak seluruh instansi pemerintah yang terkait dengan proses pengurusan dokumen barang terintegrasi di dalamnya. Belum lagi praktik koruptif yang melibatkan regulator, pelabuhan/terminal dan pemilik barang yang masih merajalela dalam proses pengurusan dokumen impor-ekspor.
       
Agar seimbang, saya bertanya kepada Dr. Saut Gurning seputar implementasi INSW. Akademisi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya itu mengamini kekurangan yang ada pada platform tersebut. 
       
Ada dilema antara instansi keuangan, perdagangan, dan perhubungan di sana. Ujung-ujungnya, platform teknologi informasi yang berada di bawah naungan mereka saling bersaing antara satu dengan yang lainnya. 
       
Smart port sejatinya tidak melulu urusan IoT dan AI. Seperti yang disebut oleh ahli India di atas, ia juga berkenaan dengan Blockchain dan big data. Pakar ITS teman saya tadi malah menyebut unsur energi perlu juga dimasukkan sebagai elemen smart port. Yang dimaksud dengan energi tentu saja energi ramah lingkungan. 
       
Dikaitkan dengan operasional pelabuhan, pernyataan Dr. Gurning itu dapat diubah menjadi kalimat tanya, “sudahkah pelabuhan-pelabuhan di Indonesia mempraktikkan energi ramah lingkungan?”.
       
Dalam pandangan mata batin dia, di Indonesia baru Terminal Teluk Lamong, anak usaha PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III yang sejauh ini sudah mempraktikkan prinsip energi ramah lingkungan di area terminal/dermaga. 
       
Kapal-kapal yang sandar dan membongkar muat di sana sudah mematikan main engine dan auxiliary engine¬-nya, diistilahkan cold ironing dalam khazanah pelayaran. Sebagai gantinya, kapal-kapal memanfaatkan sambungan listrik yang khusus disiapkan oleh pengelola dermaga.
       
Bagaimana dengan implementasi Blockchain di pelabuhan-pelabuhan nasional? Yang ada baru sebatas blocking chain, seloroh Dr. Saut. Ia merefleksikan kondisi penerapan smart port di Indonesia yang masih saling mengunci (blocking) di antara para stakeholder.
       
Sekadar perbandingan, di China, China Merchant Port Group (CMP) menggandeng Alibaba Group melalui perusahaan afiliasinya, Ant Financial Group untuk membangun platform Blockchain. Kesepakatam di antara ketiganya telah ditandatangani baru-baru ini. 
       
Pengelola pelabuhan-pelabuhan di dunia berlomba-lomba dalam menerapkan Blockchain untuk mendukung konsep smart port yang mereka implementasikan. Di samping pelabuhan akan semakin efisien, ada revenue yang bisa didulang dari smart port. 
       
Dalam kaitan ini, banyak analis kemaritiman memperkirakan nilai penerapan teknologi smart port (AI, IoT, Blockchain, dan lain-lain) berkisar AS $ 2 milyar dalam lima tahun ke depan.
       
Apakah penerapan smart port di Indonesia akan terus sebatas percikan saja? Semoga tidak.

*Penulis, Siswanto Rusdi adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Pewarta: Siswanto Rusdi

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020